Actions

Work Header

Sunsettia Season

Summary:

Kata Kaeya "kalau yang gagal banyak, berarti yang bodoh bukan kita tapi yang ngajar." Kalimat penghibur itu lantas menjadi acuan Childe dan 3/4 mahasiswa yang gagal di mata kuliah mekanika tanah di kelasnya dua semester yang lalu, menyebabkan dirinya dan Kaeya mengulang lagi di semester keenam sekarang. Childe tentu tidak terima, ia memang nakal tapi selalu hadir dan mengerjakan tugas dengan baik dan benar. Apa-apaan itu?!

Kenyataan pahit pun harus ia terima ketika tahu mereka akan bertemu dengan dosen yang sama. Childe dan Kaeya hanya bisa misuh-misuh. Dalam bayangannya sudah terbayang betapa menyebalkan wajah dosennya yang kejam, galak, jelek, botak, jelek –bahkan Childe mengulang umpatan itu dua kali

Namun, dendam kesumat itu menguap bagai slime air yang terkena api. Ketika sosok yang indah rupawan masuk ke dalam kelasnya, mata sejernih cor lapis itu menggungah dan suara baritone-nya mengalihkan atensi manusia-manusia di ruangan tersebut.

"Selamat pagi semua, saya Zhongli yang akan membawakan mata kuliah mekanika tanah untuk semester ini, mohon kerjasamanya"

Mungkin mengulang bukan hal yang menyedihkan.

Notes:

Halo gais, sebenarnya work ini pernah aku post di wattpad dengan username bitsofbytes. Tapi aku repost lagi di AO3. Enjoy!

(See the end of the work for more notes.)

Chapter 1: Hey, I just met you.

Chapter Text

Semester 6 menandakan kalau Childe sudah tua, sebenarnya belum tua sih, ia masih dua puluh tahun tapi title mahasiswa tua sudah tersemat padanya ketika ia pulang ke rumahnya di Snezhnaya liburan kemarin. Ayahnya yang selalu bertanya kapan lulus bahkan sejak semester pertama semakin sering melayangkan pertayaan serupa

Childe sebenarnya tak ambil pusing. Ia mahasiswa yang cukup rajin ketika belajar, nilainya juga bagus, aktif dalam berorganisasi dan kemampuan sosialnya mumpuni terlihat dari followers instagram-nya yang sampai ada di samping angka. Begitu pula dengan sahabatnya selama kuliah, Kaeya Alberich. Pria itu juga sebelas dua belas dengan Childe bedanya dia sedikit lebih nakal dibanding dirinya, tapi masih di batas wajar, Kaeya juga bukan tipe yang akan memberi pengaruh buruk pada sekitarnya. Pokoknya ia tak punya masalah untuk bisa lulus tepat waktu, hanya saja ada satu hambatan yang membuatnya kesal ketika masuk di semester ini.

Mari kita mundur ke satu tahun yang lalu ketika ia dan Kaeya berada di tahun kedua kuliah di jurusan teknik sipil. Ia masih ingat betapa aktifnya dirinya saat itu dan untungnya ia masih mampu melakukan manajemen waktu dengan baik. Ada satu mata kuliah dengan dosen super galak, kejam, tak berperikemanusiaan, jelek, tidak good-looking. Okay, dua kata terkahir secara harfiah memiliki arti yang sama dan tidak seharusnya Childe melakukan body shaming. 

Teman-temannya saat itu juga sangat terganggu dengan perangai dosen yang begitu menyebalkan, tapi mereka tetap berusaha menahannya dengan harapan mungkin dia galak, siapa yang tahu dia akan objektif dalam memberi nilai, kita akan selamat, Amen begitu pikir mereka. 

Hingga pada akhirnya, lembar hasil studinya keluar dan betapa Childe ingin membanjiri rumah dosennya itu dengan air parit, dia mendapat D untuk mata kuliah mekanika tanah. Ketika ia menelpon Kaeya di malam minggu itu ia memperoleh jawaban serupa disertai erangan frustasi dari sahabatnya yang mendapat E.

Sama saja, malah lebih parah.

Group chat kelas mendadak seperti sesi flash sale pada platform belanja online. Ramai, berisik, notifikasi bermunculan dan dari sini mereka menyimpulkan kalau 3/4 dari kelas mereka gagal di mata kuliah yang sama, bahkan yang lulus saja hanya dapat nilai C. Salah satunya adalah mahasiswa terpintar di kelas mereka, Jean. Bahkan perempuan asli Monstadt itu sempat menanyakan kembali perihal nilainya, malah diancam menjadi D. Persetan

"Demi Archon, zhalim banget sih Bapak ini, aku ngga habis pikir" Jean saja yang begitu rajin dan aktif di kelas hanya mendapat C untuk segala usahanya sampai bisa mengeluh seperti itu apalagi yang modelan seperti mereka berdua. Sudah mengeluarkan sumpah serapah dengan bahasa daerah masing-masing pastinya. Tak ikhlas karena effort mereka menjadi sia-sia. 

Kembali lagi ke hari ini, hari pertama dalam semester 6 hari Senin yang harusnya membuat Childe semangat karena bertemu dengan teman-temannya malah menjadi kelabu karena matkul pertama, jam delapan pagi adalah mekanika tanah. Langkahnya gontai ketika masuk ke dalam kelas, untungnya mood-nya menjadi lebih baik setelah melihat Kaeya yang sudah menyiapkan kursinya di belakang 

"Yo" panggil Childe yang dibalas tepukan dibahu oleh Kaeya "yo, udah siap buat ketemu si botak?" candanya untuk membuat Childe lebih baik, walaupun Kaeya juga sama uring-uringannya. Childe mendengus "siap ngga siap ya kudu disiap-siapin" sembari meletakkan tas di atas kursi "Demi Celestia di atas sana, semoga si botak sakit perut, mencret, muntaber apa dah, males banget gue lihat mukanya" Kaeya tertawa keras "awas entar karma, lo yang kena"

Childe cemberut lalu mengeluarkan kertas binder, hanya kertasnya saja nanti di asrama ia akan memasukkannya dalam binder. Lalu menyenderkan tubuhnya "lo sendiri? apa ngga males liat mukanya?" Kaeya lantas menjawab "yaiyalah anjir, mana gue dapat E semalam, masih nggak terima ya, gue udah serius banget pas ujian" ia membenamkan wajahnya diatas meja.

"Nggak bisa gitu ada keajaiban, dosennya tiba-tiba ganti terus nilai kita pada A" imbuh Kaeya, Jean yang mendengar karena duduk di depan mereka lantas menoleh "orang kayak lu berdoa, doanya di-pending dulu, disuruh muhasabah sama Archon di atas" ledeknya membuat seisi kelas tertawa, minus Kaeya tentunya.

Pria dengan eyepatch itu memutar bola matanya "sembarangan" ucapnya. Alisnya lalu mengerut "Eh, tumben lo duduk di belakang, biasa di depan?" tanyanya ketika menyadari Jean yang duduk di hadapannya. Si pirang menghela nafas "males gue." Jawaban yang mencengangkan, Childe dan Kaeya sampai bergumam 'sulit dipercaya'  karena seorang Jean berkata seperti demikian

"Lihat, Jean aja sampai mikir gitu" tunjuk Childe ia kembali melengos "Dahlah, kalau kita gagal lagi-" belum siap ia berbicara, kepala Childe sudah dipukul dengan binder tipis milik sohibnya "ngga usah pakai kita, lo aja kali" balasnya sengit. Childe manyun "jangan gitu dong kan kita bestie" membuat dua orang lainnya bergidik ngeri.

"Sebenarnya kan ya, mending gitu si botak good looking, lah ini nggak!" Kini ketiganya kaget karena Lumine yang ternyata duduk disamping Jean menyambar dalam percakapan mereka. Meski begitu, Jean langsung menyetujui ledekan Lumine "benar, nih udah jelek, nyebelin lagi" 

Childe dan Kaeya mendengus, si ginger dari Snezhnaya itu lalu melirik jam yang terletak diatas papan tulis geser tersebut, sepuluh menit lagi sebelum pelajaran dimulai. Ia lalu memilih membuka tablet-nya dan melihat-lihat materi mekanika tanah yang pernah ia dapat sebelumnya. Ingat, lihat-lihat doang, tidak dibaca.

Kaeya yang lebih 'pasrah' dibanding temannya itu memilih untuk mendengarkan lagu menggunakan airpods-nya, jemarinya memutar pulpen sesuai dengan tempo lagu yang ia dengarkan. Lain lagi dengan Jean dan Lumine yang masih bergosip seputar si botak yang tidak ditunggu kehadirannya.

 

Cklek

 

Indra pendengaran Childe menangkap suara pintu kelasnya digeser, sesaat ia dapat mendengar hiruk-pikuk mahasiswa di koridor masuk ke dalam kelasnya. Childe tak langsung mengalihkan pandangannya dari tablet dan malah menggeser notification bar di tabletnya untuk melihat jam. Ia berdecak sebal, masih ada lima menit sebelum kelas dimulai. Sungguh, ia merasa kesal dengan si botak yang seenaknya masuk lebih cepat walau hanya satu menit --pada titik ini, semua yang dilakukan Pak Dosen itu akan salah di mata Childe--

Namun ini aneh, Kaeya biasanya akan langsung heboh kalau seseorang masuk baik sekedar memanggil Childe untuk mengalihkan atensinya untuk memperhatikan penjelasan dosen. Kali ini Kaeya diam saja. Childe pun menoleh pada sahabatnya, dan menemukan pemandangan yang aneh.

Kaeya diam dengan mulut yang sedikit menganga, mata birunya terlihat berbinar seperti disuguhi 10.000 mora. 

"Cantik banget." gumam Kaeya membuat Childe merinding, tak pernah ia melihat temannya memuji sampai seperti itu. Lagipula, masa iya seorang Kaeya Alberich suka sama om-om bau tanah? Kemana semua mantan-mantannya yang seksi dan cantik?

"Ah maaf, kalian pasti terkejut karena saya masuk terlalu cepat, maaf ya" kedua bola mata Childe membola, itu bukan suara si botak. Ini adalah orang lain, dan dari suaranya saja Childe bisa tahu kalau di hadapan mereka pasti seorang lelaki yang masih muda

Dan benar saja, ketika ia menoleh yang pertama kali ditangkap oleh retinanya adalah kedua iris seindah cor lapis yang bercahaya dengan kedua sisi matanya dihiasi warna oranye secerah sunsettia terlihat dreamy bagai langit ketika matahari tenggelam, rambut cokelat dengan ujung yang lebih terang begitu halus meskipun hanya dilihat dari visualnya, hidung bangir dan bibir yang merona. Celestia di langit sana, siapa yang kau kirim dihadapan mereka hari ini? Apakah ia adalah salah satu Archon-mu?

Baik Childe maupun Kaeya masih terperangah untuk beberapa saat sampai akhirnya Jean memecah keheningan kelas tersebut "a-Ah, nggak apa-apa, Pak, cuma kaget aja karena Bapak yang masuk, nggak salah kelas, Pak?" tanya Jean memastikan bila pria dihadapan mereka tidak salah masuk kelas dan mematahkan harapan 23 mahasiswa.

Sosok menawan nan indah rupawan itu memiringkan kepalanya bingung "Ah, ini ruangan 13.02.01, kan? Mata kuliah Mekanika Tanah II?" Aduh aduh aduh aduh, Childe dan Kaeya tak terlihat tenang, jantung mereka seakan keluar dari tulang rusuk dan meleyot. Bahkan wajah bingungnya lucu?! Yang benar saja.

"Iya, Pak." sahut Lumine, pria itu lantas tersenyum "ah kalau begitu benar, saya yang akan mengampu mata kuliah ini untuk kelas kalian karena dosen yang sebelumnya sedang sibuk penelitian maka saya yang menggantikan" jawabnya. Mereka manggut-manggut mendengar jawaban tersebut, banyak dari mereka bernafas lega karena tak perlu berhadapan dengan dosen killer, tapi lebih banyak yang mengagumi dosen yang di hadapan mereka.

"Ekhem, sebelumnya perkenalkan saya Zhongli, panggil saja Pak Zhongli atau Zhongli-xiansheng, mungkin kalian belum pernah melihat saya disini karena memang saya baru dan mengajar di Teknik Geologi biasanya, sebelumnya saya juga di Liyue National University" ternyata namanya Zhongli. Nama yang indah dan entah kenapa cocok dengannya. 

Kaeya mengangkat tangannya dengan sigap hendak bertanya pada dosen muda di hadapannya "Bapak kelihatan masih muda, udah nikah belom, Pak?" sambarnya. Seluruh mata memandang Kaeya tak percaya dengan pertanyaan tersebut meskipun dilayangkan dengan nada penuh candaan seperti biasa. Childe yang tak berekspektasi pertanyaan itu akan keluar dari mulut Kaeya bersiap memukul pria itu dengan tabletnya 

Tak disangka, Zhongli tertawa mendengar pertanyaan remeh tersebut "astaga, bikin kaget saja, kelas kalian cukup seru ya." ucapnya, ia lalu menjawab pertanyaan Kaeya "jawabannya belum, umm" pria itu mengambil absen di atas meja untuk mencari-cari nama.

"Kaeya, Kaeya Alberich" jawab pria berkulit tan itu dengan percaya diri tak lupa senyum manis yang selalu ia keluarkan untuk tebar pesona. Childe menatapnya sengit, tak mau kalah dengan sahabatnya yang playboy cap kapak ini. Zhongli lalu tersenyum "ah, Kaeya" ucapnya dan mengingat nama mahasiswa pertama yang melayangkan pertanyaan padanya pagi ini.

Childe tak mau kalah, ia pun ikut mengangkat tangannya dan ketika Zhongli sudah mempersilakan ia pun bertanya "Kalau pacar, punya dong, Pak?" ia ikut bertanya dengan nada playful seperti yang Kaeya lakukan. Kini Jean selaku komting ingin pindah kelas saja jadi anak tata boga di gedung sebelah. Anyways, pertanyaan Childe sebenarnya cukup riskan, pasalnya manusia bertampang seperti Zhongli tak mungkin single. Menurut Childe, jika ia punya wajah seperti itu pasti sudah punya mantan mengantri. Untungnya sih, dia tidak bertampang seperti itu.

Zhongli kembali tertawa, duh kalau begini ceritanya Kaeya dan Childe akan bertanya terus menerus biar bisa melihat tawa Zhongli lagi dan lagi. Jawaban yang diberikan dosen muda itu ternyata meleset dari ekspektasi Childe, ia tak punya pasangan juga. Dan tanpa keduanya sadari, dua pasang mata itu berbinar mendengar jawaban Zhongli. 

"Ah, nggak mungkin, Bapak ganteng gini mana mungkin ga punya pacar" celetuk Lumine yang ikut-ikutan, seisi kelas menyetujui pernyataannya dan dibalas gelengan oleh Zhongli "iya, saya memang belum pernah memiliki hubungan seperti itu, paling hanya teman dekat biasa" jawabnya. Bagai lampu hijau, Childe dan Kaeya melihat ini sebagai kesempatan untuk menerobos, menerjang, dan terjun ke dalam pesona pria dihadapannya ini.

Jean yang sedari tadi diam saja ternyata sibuk mencari data mengenai dosen muda ini, ia tak dapat menahan diri untuk tidak segera memberi tahu dua sohib karibnya, lantas Jean memberi ponselnya pada Childe dan membiarkan pemuda itu membaca data diri Zhongli yang tersimpan di database kampus.

Childe membaca dengan seksama diikuti dengan Kaeya yang mengintip dari samping. Kaeya ternganga ketika melihat profil Zhongli, mulai dari umur, almamater hingga penelitian yang telah ia lakukan. Pria ini flawless, usianya masih tergolong muda untuk menjadi Doktor dalam ilmu geologi, masih 27 tahun. Ia merupakan lulusan Teyvat University, tempat yang sama dengannya mengemban ilmu saat ini dan termasuk universitas bergengsi di dunia.

Childe sudah pernah bilang kan kalau ia itu pintar. Hehe

"Baiklah, bila pertanyaannya sudah selesai, saya rasa kita sudah bisa masuk pada pengenalan mata kuliah ini." ucap Zhongli. Namun, belum sempat ia menarik papan tulis geser di belakangnya. Childe dan Kaeya langsung mencegahnya "t-Tunggu!" Seisi kelas langsung mengalihkan atensinya pada dua manusia itu.

Baik Childe maupun Kaeya sama-sama tidak mengantisipasi keduanya akan melakukan itu. Kedua pasang mata itu membelalak ketika bertemu satu sama lain, merebutkan satu kesempatan bertanya pada Zhongli yang cukup terkejut melihat antusiasme kedua mahasiswanya. "Ah, Childe, Kaeya, satu-satu, ya? Ayo, siapa duluan" ucapnya berusaha menengahi.

Isi otak keduanya sama, mereka sama-sama berpikir satu sama lain tak akan ada yang mau mengalah. Oleh karena itu mereka akan membiarkan mulut mereka berbicara, dan pertanyaan itu cukup membuat seisi kelas tertawa  

"Kalau gitu, Zhongli-xiansheng jalan sama saya aja!"

 

 

—to be continue

Chapter 2: lightning strikes to my heart

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Kelas Zhongli sudah selesai lima belas menit yang lalu. Karena ini satu-satunya kelas mereka hari ini —kecuali mereka mengambil kelas pilihan tentunya— banyak mahasiswa yang merapikan barang bawaan mereka dan segera meninggalkan kelas.

Masih ingat pertanyaan Childe dan Kaeya tadi pagi ketika Zhongli baru saja memperkenalkan dirinya? Sayangnya, pertanyaan dengan intensi serius walaupun tak terdengar meyakinkan itu hanya disambut oleh gelak tawa oleh Zhongli, ia pikir Childe dan Kaeya hanya bercanda dan beranjak untuk memulai pelajaran.

Jean dan Lumine hanya bisa menahan tawa mereka ketika mendengar respon Zhongli. Kan dia sudah bilang, mereka harus bertobat dulu pada Celestia agar doa mereka didengar.

"Lo kemana habis ini?" tanya Kaeya yang sudah selesai mengemasi barangnya, ia berencana untuk langsung ke asrama yang ia tinggali bersama Childe dan dua roomate mereka, Aether yang merupakan kembaran Lumine dari jurusan teknik mesin dan Albedo si anak teknik kimia.

Childe mengusap dagunya memasang pose berpikir "kayaknya ke kelas Thoma dulu gue, waktu liburan gue ada nitip barang dari Inazuma" sahutnya sembari menyampirkan tas di bahu. Kaeya mengangguk "Yauda deh, gue balik luan, lagi pengen rebahan" jawabnya, hendak ikut pergi keluar bersama Jean dan Lumine.

"Eh, Childe" sebelum keluar, Kaeya sempat memanggil Childe membuat pemuda itu berhenti dari langkahnya di depan pintu "Huh? Apaan?" sahutnya pada Kaeya. Temannya itu tak langsung menjawab dan menatapnya dengan tatapan penuh arti, Childe tidak tahu cara mendefinisikannya tapi yang pasti Kaey terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya.

Kaeya tertawa kecil "nggak jadi, nanti aja" kekehnya, jawaban itu membuat Childe ingin melempar tasnya "Yaelah, yaudah ntar aja pas pulang lu bilang, dah nih gue udah ditungguin Thoma, bye!" ucapnya lalu keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Kaeya, Jean dan Lumine dengan focus group discussion membicarakan orang lain alias ghibah.

─── ・ 。゚☆: *.☽ .* :☆゚. ───

Dan di sinilah Childe berdiri, di bawah pohon rindang di taman yang membatasi fakultas teknik dengan fakultas kesehatan masyarakat. Banyak mahasiswa yang menghabiskan jam kosong di sini karena banyak pohon rindang dan halaman rumput yang luas untuk piknik. Tangannya melambai ketika melihat Thoma yang celingak-celinguk mencari Childe

"Nih titipan lo" Thoma menyodorkan tas kertas berisi oleh-oleh yang lebih mirip titipan milik Childe "Yoi, Makasih gan" Childe tersenyum senang dan dengan tidak sabar ia membuka tas kertas berisi dessert dari Inazuma. Lumayan buat makan bareng roommate-nya.

"Eh, Childe, lo ada ga ide buat event kampus bulan depan? katanya Xiangling mereka mau pake tema ala ala neraka gitu" tanya Thoma, si ginger berdehem ia menimang-nimang usulan Xiangling selaku adik tingkat yang merangkap menjadi wakil ketua klub memasak. Mentang-mentang masak pakai api masa mau bikin maid cafe temanya neraka

Ia meletakkan tangannya di pinggang "boleh juga, tapi kan kita mau bikin maid cafe nih, nggak apa-apa tuh, temanya neraka? entar yang makan malah ingat akhirat" ujar Childe dan dibalas dengan gelakan tawa oleh Thoma "iya juga tapi nggak apa-apa biar yang makan pada ingat Tuhan" balasnya membuat Childe ikut tertawa

"Begitu, ya?" Childe melirik sekitarnya, mencoba mencari ide mendadak karena ditanya oleh Thoma selaku sekretaris klub. Paling tidak Childe sebagai ketua ingin memberi sumbangsih opini pada kemaslahatan UKM yang ia pimpin ini. Pandangannya berpendar melihat para mahasiswa yang bercengkerama atau sekedar melakukan aktivitas individu di taman tersebut hingga akhirnya matanya berhenti pada sosok yang baru ia kenal tiga jam lalu, Zhongli berdiri di bawah pohon sunsettia dan terlihat tengah berbicara dengan orang lain.

Thoma yang melihat Childe melamun lantas melambaikan tangannya di depan sang ketua "Heh, Lihat apa, sih?" tanya si pirang berkuncir, ia lalu melirik ke arah yang sama dimana mata Childe berlabuh "Oh? Pohon sunsettia?" celetukan Thoma menyadarkan Childe dari lamunannya "I-iya, sunsettia, mungkin kita perlu memasukkan hidangan dengan sunsettia pada menu kita nanti" tukas Childe lalu menepuk bahu Thoma dan mengakhiri percakapan mereka "nanti kita bahas lagi, deh, lo nggak masuk kelas?" tanya Childe basa-basi walau sebenarnya ia hanya ingin berlari ke arah Zhongli saja sekarang.

Thoma menepuk jidatnya "astaga, lupa! gue duluan ya!" ucapnya sebelum kembali berlari ke gedung fakultas kesehatan masyarakat. Childe mengangguk dan tak lupa mengucapkan terima kasih atas oleh-oleh yang diberikan olehnya.

Setelah melihat Thoma pergi dan tak terjangkau oleh penglihatannya lagi. Childe lalu kembali melirik Zhongli, dosen muda itu terlihat menikmati waktunya berbincang dengan seseorang yang Childe sendiri tak bisa lihat dengan jelas karena rimbunnya daun di pohon tersebut. Ia memutuskan untuk berjalan lebih dekat, untuk melihat lebih jelas dengan siapa Zhongli berbicara.

"Zhongli-xiansheng!" Panggil Childe, sekedar menyapa tidak masalah, kan? 

Zhongli yang mendengar namanya dipanggil langsung menoleh pada sumber suara yaitu Childe yang memanggilnya dengan senyum lebar, ia balas dengan senyum juga "Childe, kan?" tanyanya memastikan kalau ia tidak salah orang. pemuda Snezhnaya itu mengangguk "iya, masih ingat aja" sahutnya santai. Zhongli terkekeh pelah "ya iya, kan saya baru masuk kelas kamu tadi pagi"  Childe cengengesan mendengarnya.

"Ekhem" sebuah deheman menyadarkan Childe kalau tadi Zhongli tengah berbicara dengan seseorang, bukan salah Childe bila ia tidak sadar dengan keberadaan orang tersebut, aura Zhongli membutakan Childe, sih. 

Ia lantas menoleh ke samping Zhongli dan menemukan seorang pemuda berambut merah dengan ponytail tinggi tersemat di rambutnya. Iris merahnya menatap Childe tajam seolah tidak suka dengan kehadiran Childe di antara mereka. "Ah, hampir lupa!" Zhongli menepuk tangannya "Childe, komting kelas kalian Jean, kan? Tapi karena kamu bertemu lebih dulu saya kasih tau ke kamu saja, ya" ujar Zhongli ia memberi gestur seolah ingin mengenalkan si rambut merah ini pada Childe

"Ini Diluc, Diluc Ragnvindr, dia asisten saya, mungkin di beberapa kesempatan seperti praktik akan dibawa oleh Diluc" ujar Zhongli, Childe mengangguk ia lalu menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan Diluc sebagai pengenalan dengan wajah galaknya itu Childe tak yakin Diluc akan membalas jabat tangannya. 

Namun Diluc membalas jabat tangannya "Diluc Ragnvindr, panggil Diluc saja kalau diluar kelas" ternyata dia tidak segalak kelihatannya

"Hu-uh? Tartaglia, panggil Childe aja" ia berjengit kaget ketika Diluc mengeratkan genggamannya. Kedua mata mereka bertemu dan Childe bisa melihat betapa ambisiusnya pria itu. Childe akan menarik lagi kalimat dimana ia mengatakan kalau Diluc itu baik. Zhongli yang sepertinya clueless dengan tekanan di antara dua pemuda itu hanya mengatakan "semoga kalian tidak masalah, saya cukup sibuk soalnya" imbuhnya.

"Tidak masalah, xiansheng, saya juga bersemangat untuk pengalaman mengajar ini" mata Diluc menyipit ketika ia mengatakan kalimat tersebut membuat Childe tanpa sadar mengangkat sudut bibirnya seolah tahu mereka berdua memiliki kesamaan yang tidak terlalu menyenangkan "saya juga tidak keberatan" balasnya.

"Ah, syukurlah, tadi saya sempat kewalahan karena kelas saya semester ini lumayan banyak" Zhongli menghela nafas lega "tidak masalah, xiansheng, Anda bisa minta bantuan saya kapan saja" sahut Diluc langsung, Zhongli menepuk bahu pria itu "tidak perlu repot-repot, kamu juga harus menyelesaikan thesis kamu, kan?" Diluc mengangguk "iya, sudah hampir selesai juga"

Mata Childe berkedip beberapa kali mendengar pernyataan Zhongli 'Thesis? Huh? S2? Bukan sebaya?!' ia sedikit kaget karena Diluc terlihat sebaya dengannya dan Kaeya dan paling tidak dia di semester yang sama atau semester 8 kalau ia terlalu cepat masuk. Sepertinya kebingungan Childe terlihat jelas oleh kedua pria di depannya.

Zhongli pun menjelaskan situasinya "Diluc memang sebaya dengan kalian, mungkin?" ia mengerling pada Diluc untuk mengonfirmasinya dan dibalas dengan anggukan olehnya "Iya, saya akselerasi ketika SMA dan SMP, makanya sampai di titik ini" jawaban Diluc tidak bermaksud untuk menyombongkan diri, terlihat dari wajah tenang si pemilik surai merah itu ketika mengucapkannya tapi Childe tetap kesal.

Mungkin karena dia sadar kalau tandingannya kali ini bukan kaleng-kaleng, sialan.

"Kalau begitu, saya pergi lebih dulu ya? Tadi Diluc mau bilang sesuatu, kan? lewat chat saja ya" Zhongli pamit undur diri lebih dulu karena masih ada urusan yang lain. Diluc dan Childe mengiyakan, kini keduanya berdiri dan melihat lawan bicaranya lekat-lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki hingga akhirnnya Diluc memecah keheningan di antara keduanya.

"Lo nggak dari Mondstadt, kan" itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan, Diluc hanya menebak tapi kelihatan dari tindak-tanduk dan gaya berpakaiannya, Childe agak kaget ketika pria itu mengganti kata gantinya dari saya-kamu ke gue-elo ketika ngobrol dengannya. Kayaknya Diluc juga bukan tipikal yang gila hormat, syukurlah. 

"Yoi, lo sendiri? Kayaknya nama lo nggak asing" Childe tidak membual untuk itu, nama belakang Diluc memang tidak terdengar asing. Dia kayak pernah dengar di suatu tempat. Mungkin namanya sering dibicarakan oleh warga kampus

"Mondstadt, gue lahir disini" jawab Diluc, sekali lagi ia melirik Childe tajam seolah menganalisa pria itu dengan cermat "mungkin lo kenalnya ayah gue," imbuh Diluc "nanti gue yang ngasih tau Jean jadwal praktikumnya, gue duluan" Diluc pamit pergi dari hadapannya meninggalkan Childe dan otaknya yang masih memproses jawaban yang ia peroleh.

Dia mungkin baru berbincang sebentar dengan Diluc, tapi ia tahu mereka memiliki intensi yang sama pada tujuan yang serupa. Terlihat dari tatapan tak ramah Diluc ketika ia mendekati Zhongli tadi, pria itu terlihat seperti ingin menguliti Chide dan menjadikannya kulit krispi. Meskipun Diluc terlihat lebih baik di beberapa aspek dibanding dirinya, ia tak gentar toh kelihatannya Childe masih punya banyak kelebihan. Dia kan ramah, supel, baik hati, suka membantu dan yang paling penting lebih ganteng juga (menurutnya)

"Jean? emangnya dia kenal? dih" dalam hati Childe terkekeh dengan tingkah songong Diluc yang terakhir, sampai akhirnya  ia mengingat sesuatu sesaat ketika ia menyebut nama sohibnya itu. 

"Tunggu... Ragnvindr? Anjir!" Childe menepuk dahinya. Sekarang ia ingat ketika Jean menyebut nama seseorang dengan nama belakang yang sama, seorang pengusaha winery terkaya dan terkenal di negeri ini, Diluc Ragnvindr bukan orang biasa, dia punya segalanya, dia cerdas, kaya dan tampan meskipun Childe tak sudi mengakuinya.

Childe berdecak sebal, ini tak akan mudah "sialan!" umpatnya pelan.

─── ・ 。゚☆: *.☽ .* :☆゚. ───

"Siang, Zhongli-xiansheng" sambut Diluc ketika Zhongli sudah di hadapannya, tadinya dosen pembimbing thesis-nya ini memintanya untuk menunggu di pawah pohon sunsettia dekat pintu masuk. Alisnya mengerut ketika Zhongli datang dengan terburu-buru, sepertinya ia baru menyelesaikan kelasnya pagi ini

"Maaf ya Diluc, sayanya lama, kelas pagi tadi baru selesai" ucap Zhongli, Diluc menggeleng, sungguh Zhongli tak perlu meminta maaf padanya lagipula ia hanya terlambat dua menit dan Diluc tidaklah sekaku itu. "Tidak apa-apa, saya juga baru sampai kok" sahutnya. Zhongli tersenyum "syukurlah, saya hanya ingin memberi ulasan untuk bab ketiga kamu dan sepertinya saya butuh bantuan kamu semester ini?"

Diluc mengangkat kedua alisnya penasaran "bantuan apa, xiansheng?" mendengar hal tersebut membuat Diluc sedikit senang karena bisa membantu Zhongli yang trlihat begitu sibuk. Pasalnya setiap kali Diluc menawarkan bantuan, Zhongli seringkali menolak dan sekarang ia diberi kesempatan untuk membantu. Ia bahkan lupa dengan poin pertama tentang thesis miliknya.

"Saya ada masuk di teknik sipil semester ini, untuk kelas semester 6 mekanika tanah, sayangnya saya belum banyak kenal mahasiswa di jurusan tersebut untuk menjadi asisten praktikum, kira-kira kamu bisa ngga jadi asisten praktikum mereka untuk sementara?" tanya Zhongli. Diluc tanpa ragu mengiyakan ajakannya "tentu, saya juga tidak keberatan untuk satu semester lagipula ini masih linear dengan jurusan kita" jawab Diluc yakin

Zhongli bernafas lega "terima kasih, Diluc" ucapnya, Diluc tersenyum tipis menganggapinya, hal yang jarang terlihat dan mungkin hanya orang terdekat saja yang beruntung melihatnya.

"Bukan masalah" balas Diluc "kalau boleh tahu, kelas yang mana, xiansheng?" tanyanya. Zhongli menjawab "oh, ini" ia membuka mapnya dan mengeluarkan kertas berisi list absen yang diberikan ketua prodi padanya, berisi absen dan rincian kelas yang ia ajar tadi pagi. Diluc membaca isi kertas itu dengan seksama, ekspresi terkejut mampir di wajahnya untuk sepersekian detik ketika ia melihat satu nama tertera di sana.

Sepertinya Zhongli menyadari perubahan raut wajahnya walau hanya dalam waktu singkat. Ialu bertanya "ada apa, Diluc?" ia ikut melirik pada kertas tersebut, takut ia salah memberi list absen dan tertukar dengan kelas lainnya. Wajahnya mendekat ke arah Diluc hingga membuat si rambut merah kaget dan salah tingkah. Dari jarak segini, ia bisa mencium aroma sandalwood yang khas sekali dari Zhongli. 

"Aaa, tidak apa-apa, xiansheng" sekuat tenaga ia menjaga degup jantungnya agar berdegup dengan kecepatan normal. Sungguh, Diluc tak sanggup bila tiap kali ia bertemu Zhongli ia harus mengalami hal seperti ini.

Baiklah, ia akan mengaku, setiap ingin bertemu dengan Zhongli ia berusaha mati-matian untuk tidak terlihat salah tingkah, dan setiap Zhongli mendekat ia bisa merasakan aliran darahnya begitu kencang karena jantungnya memompa tiada ampun, kadang ia berharap ia bisa mengontrol dirinya untuk hal seperti ini.

Kata buku yang ia baca, ia jatuh cinta, tapi ia menolak untuk percaya. Tidak mungkin. Dasar! denial saja terus sampai es di kutub utara kembali membeku.

"Saya kira, saya memberi absen yang salah" ujar Zhongli sedikit terkekeh karena melihat Diluc yang kikuk. "Oh! Diluc!" ia menunjuk rambutnya, sontak membuat Diluc menyentuh rambut ikalnya "saya baru kali ini melihat kamu mengikat rambut dengan ponytail tinggi, itu cocok untukmu" puji Zhongli, tanpa menyadari kalau perilakunya itu membuat Diluc ingin menekan tombol self-destruction untuk dirinya sendiri.

Wajahnya memerah "t-terima kasih" ucapnya lalu memalingkan wajahnya, tak tahan melihat senyum Zhongli setelah mendengar pujian lolos dari bibirnya. Diluc rasa wajahnya sudah seperti stroberi sekarang

"Iya, kau terlihat, lebih uh? fluffy? itu kan bahasa gaulnya?" Zhongli memiringkan kepalanya bingung, Diluc dapat melihat wajah bingung Zhongli yang menurutnya menggemaskan. Diluc mengusap wajahnya dengan harapan wajahnya yang merah itu bisa kembali normal walaupun sepertinya itu sulit karena Zhongli malah bertanya padanya lagi

"Eh, wajahmu merah? Apa kamu sakit? Kalau jadwalmu sudah padat saya akan menca-" ucapan Zhongli langsung dipotong oleh Diluc "tidak, xiansheng, saya sehat-sehat saja, kok" jawabnya cepat, dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia memang cukup sering bertemu dengan Zhongli ketika di kelas ditambah lagi pria didepannya ini adalah dosen pembimbing thesisnya. Namun, ia juga ingin lebih dekat dengan Zhongli lebih dari sekedar hubungan mereka yang sebenarnya.

"Yang benar? Nanti kegiatan kamu malah jadi terhambat?" tanya Zhongli lagi, Diluc menggeleng "saya baik-baik saja, mungkin karena hari ini cuacanya sedikit terik makanya wajah saya merah" tukas Diluc. Berterima kasihlah pada matahari hari ini Diluc, karenanya kau punya sesuatu untuk dijadikan alasan di depan Zhongli.

Zhongli tertawa pelan "ah, bisa jadi" sahutnya. Mereka lalu mebicarakan thesis milik Diluc dibawah pohon sunsettia siang itu sebelum Zhongli masuk ke kelas selanjutnya dalam satu jam dan Diluc yang berencana ke laboratorium untuk agenda selanjutnya di hari ini. Keduanya berbincang ringan hingga akhirnya Zhongli melirik jam tangan yang tersemat di pergelangan tangan kanannya

"Ah, lima belas menit lagi saya masuk, terima kasih ya Diluc sudah mau membantu saya" ucap Zhongli sebelum berniat untuk pamit, Diluc mengangguk "saya juga, xiansheng juga memberi kesempatan buat saya untuk mengajar" jawabnya

Diluc ikut membantu dosen muda itu untuk membereskan barang bawaannya. Dalam diam, ia tengah memikirkan sesuatu, sesekali ia melirik Zhongli yang masih di hadapannya.

"Zhongli-xiansheng" panggil Diluc, lawan bicaranya yang tengah membaca silabus untuk kelas selanjutnya mengalihkan perhatiannya pada Diluc "ya?" balasnya.

Diluc mengambil nafasnya "Besok malam, apa xiansheng--" 

"Zhongli-xiansheng!" Seseorang menginterupsinya, keduanya terkejut dengan panggilan tersebut. Diluc ikut menoleh ke arah pemanggil suara meskipun bukan dirinya yang dipanggil, seseorang dengan rambut oranye memanggil Zhongli dengan senyum lebar.

Sungguh, Diluc tak terhibur, ia ingin baku hantam detik ini juga.

—to be continue

 

Notes:

Sebenarnya cerita ini udah banyak chapternya wkkwwk, cuma kadang aku lupa up disini. If you want to just visit my wattpad @bitsofbyte thank you! ヾ(^▽^*)))

Chapter 3: three meetings

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Jam 7 Malam dan seorang Kaeya Alberich masih diatas kasurnya sembari meihat-lihat katalog e-commerce dengan earphone yang tersemat di telinga, pemandangan yang aneh untuk roommate-nya yang kini tengah berkutat di PC Albedo untuk bermain game berdua. Aether menjadi pertama yang menyadari keanehan itu lantas berceletuk "tumben amat nggak keluar?"

Kaeya mengalihkan pandangannya ke arah si pirang berambut panjang "hah? oh, ntar lagi, abis Childe balik gue keluar" jawabnya singkat, pertanyaan Aether langsung mengingatkan Kaeya soal janjinya bareng teman segengnya ketika SMA dulu. Ucapan Aether membuatnya terdengar seperti lelaki yang panjang kaki walaupun tidak salah juga sih, ia bisa keluar dua sampai tiga kali dalam seminggu. Alasannya juga bervariasi, mulai dari kerja kelompok sampai nongkrong di bar, baik beramai-ramai atau sendirian saja.

Ia membuka chatroom berisi dirinya, dan dua temannya yang lain yaitu Dainsleif dan Rosaria. Seingatnya tadi siang Dainsleif nge-chat buat ketemuan di bar Angel Share karena ini hari pertama masuk kuliah lagi setelah libur semester ganjil yang memakan waktu sebulan. Sekedar temu kangen biasa saja.

Kenapa ia menunggu Childe pulang? Rencananya Kaeya ingin mengajaknya juga, ia tahu temannya itu juga suka minum dan jago di bidang itu, siapa tahu Childe juga mau ikutan bareng mereka. Mengajak Childe juga bukan masalah karena si ginger sendiri juga sudah kenal dengan Dainsleif dan Rosaria jadi tak perlu merasa canggung di antara mereka.

Kaeya melirik jam dinding, ia punya janji jam 8, aneh memang kalau datang jam segitu tapi ini ide Kaeya juga karena besok dia tak mau terlihat seperti orang yang punya beban hidup 1 ton walaupun nyatanya demikian --atau malah lebih berat-- dan ia juga tak mau dikunci dari luar dan masuk lewat jendela lagi.

"Oh, kirain lo pergi sendiri, tadi Childe nge-chat katanya dia lama pulang karena mau ngurus event" imbuh Aether, Kaeya cuma manggut-manggut lalu bangkit dari kasurnya untuk bersiap-siap pergi malam ini.

Ia baru saja keluar dari toilet ketika melihat pintu kamar dibuka, menampilkan Childe dengan muka setengah kusut. Ia meletakkan tasnya diatas meja dan langsung merebahkan tubuhnya di ranjang miliknya, letaknya diatas ranjang Aether yang berseberangan dengan kasur Kaeya dan Albedo.

"Mandi dulu" ucap Albedo tanpa mengalihkan matanya dari monitor, dia risih juga melihat Childe yang baru dari luar langsung merangkak naik dan merebahkan tubuhnya disana. Childe hanya balas dengan gumaman "iya, ntar lagi" nadanya antara mengantuk atau lagi malas aja. Tapi Kaeya tetap menawarkan ajakannya untuk hepi hepi di Angel Share.

Childe diam dulu, seperti mempertimbangkan tawaran Kaeya tapi dijawab dengan gelengan olehnya "nggak dulu, ngab" balasnya lalu mengeluarkan handphone dan membuka beberapa pesan masuk yang belum sempat ia baca "Nih, masih sibuk banget" Kaeya mengangguk paham dan langsung memilih outfit yang tepat untuk malam ini dan all black dipadu dengan leather jacket jadi pilihannya.

─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───

"Jadi, gimana pesantren kilat, Ros? Enak ngga?" tanya Kaeya, Rosaria yang ditanya lantas mendengus "Menurut lo? Males banget gue tiap hari hidup rasanya" jawaban hiperbola itu seolah meyakinkan Kaeya dan Dainsleif kalau kehidupan Rosaria selama liburan tidak begitu menyenangkan, tapi memang temannya yang satu itu tidak religius.

Salah sendiri juga sih, tapi nggak apa-apa dia dapat makan gratis.

Ketiganya pun saling berbincang membicarakan liburan mereka, yang lebih banyak bercerita adalah Rosaria, meskipun wanita itu terkenal pendiam tapi kalau soal misuh-misuh ia jagonya --apalagi kalau soal disuruh ibadah, dahlah-- meskipun dia misuh-misuhnya nggak berisik kayak Amber.

"Apple cider satu" sebuah suara berasal dua kursi dari posisi mereka mengagetkan Kaeya, Dainsleif dan Rosaria. Pasalnya, Angel Share malam itu sedang sepi karena ini weekdays dan suara orang itu menginterupsi obrolan mereka. Kaeya lalu melayangkan pandangannya pada sosok yang baru datang itu. Alisnya mengerut, tak yakin bagaimana anak di bawah umur bisa masuk tempat ini.

"Dek, kakak nggak tahu cara kamu masuk gimana tapi mending kamu ke kafe yang ada di seberang" Kaeya berinisiatif untuk mencegah anak itu melakukan tindakan dewasa (dalam konteks ini minum minuman beralkohol) karena anak ini berada di tempat yang tidak seharusnya, bahkan dengan supervisi orang tua sekali pun bar bukanlah destinasi buatnya.

Bukannya menurut, anak itu malah menatap tajam Kaeya dari balik hoodie hitamnya. Ia tak menggubris ucapan Kaeya dan duduk sembari menyesap apple cider-nya seolah ucapan Kaeya hanya angin lalu.

Ketiganya kini saling pandang karena bingung harus bereaksi apa, tapi dari semuanya yang paling kesal adalah Kaeya karena ucapannya bahkan tidak didengar oleh lelaki berambut hijau dengan highlight tersebut. Namun pada akhirnya Kaeya mengendikkan bahu, toh kalau ada polisi yang datang bukan dirinya yang akan di penjara.

Ding ding ding!

Sebuah telepon masuk menggetarkan ponselnya yang ia simpan di saku, melihat nama yang tampil ia berinisiatif untuk langsung mengangkat. Kaeya pun undur diri sebentar untuk mengangkat telepon tersebut dan berjalan keluar bar.

─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───

"Hah, nitip apaan? oh, roti tawar? terus?" ternyata yang menelepon adalah ketiga roommate-nya (dalam mode loudspeaker tentunya) yang memintanya untuk mampir di minimarket dulu sebelum pulang, memintanya untuk membeli snack sebagai stok pertama di bulan ini.

Ketika Childe, Albedo dan Aether sibuk berdebat snack apa saja yang masuk ke dalam daftar belanjaan, Kaeya hanya menghela nafas sembari melihat-lihat mobil dan motor yang terparkir di depan Angel Share. Menebak-nebak siapa pemiliki kendaraan tersebut, saking seringnya ia datang ke Angel Share ia sampai hafal kendaraan yang terparkir di hadapannya ini. Hanya satu motor yang tak ia kenal, sebuah Yamaha R15 berwarna hitam.

Kaeya mengelus dagunya mencoba menerka siapa pemilik motor tersebut, ia mengenal semua yang datang ke bar hari ini kecuali anak dengan hoodie hitam berambut hijau tadi. Dia bisa saja jadi pemilik motor tersebut, tapi masa iya di umur segitu dia sudah boleh membawa motor gede dan masuk ke dalam bar. Siapa sih orang tuanya!?

Selama ia bergelung dengan pikirannya sebuah mobil masuk ke dalam parkiran, ini juga bukan mobil dari pelanggan yang ia kenal. Sebuah mobil sedan berwarna hitam yang mengkilap, menunjukkan bahwa pemiliknya pasti orang yang makes good money.

Mobil itu parkir dekat dengan pintu masuk, hanya ada dua alasan bila ia memarkir seperti itu, antara dia belum terlalu jago untuk parkir dan tidak suka ribet atau dia sedang terburu-buru untuk segera masuk. Kalau menurut Kaeya, opsi kedua adalah jawaban yang tepat karena sesaat mobil itu berhenti si pemilik langsung mematikan mesin. Siapa yang terburu-buru masuk ke dalam bar, seingatnya hari ini mereka tidak mengadakan diskon yang terpaut durasi.

"Udah siap belum diskusinya mau gue matiin- oh my Archons!" Kaeya hampir menjatuhkan ponselnya ketika menyadari siapa yang turun dari mobil tersebut. Itu Zhongli! Dosennya yang tadi pagi masuk dan jadi bahan rebutannya dengan Childe. Kedua matanya mengedip cepat tidak percaya dan tanpa ba bi bu ia langsung memberi pesan pada temannya di ujung sana untuk menuliskan pesanan mereka via chat karena Kaeya tak mau menyia-nyiakan kesempatan yng diberikan Celestia padanya.

Kaeya mengayunkan tangannya "Zhongli-xiansheng!" panggil Kaeya lalu berlari kecil ke arah Zhongli yang masih celingukan, yang dipanggil menoleh pada sumber suara dan tersenyum tipis ketika ia menemukan mahasiswanya yang tadi pagi sangat aktif sampai malam ini saja ia ingat "oh, kamu Kaeya, kan? Teknik Sipil semester enam?" tanyanya memastikan.

Si rambut biru mengangguk "iya, xiansheng sedang apa disini?" Kaeya lalu bertanya, dari tindak-tanduk Zhongli, pria itu tidak terlihat familiar dengan tempat seperti ini dan ia juga bukan orang yang akan menghapus rasa sedih dengan setenggak alkohol --okay, yang satu itu hanya asesmen Kaeya berdasarkan sampulnya saja, siapa yang tahu sifat asli seseorang hanya dalam waktu 3 sks?--

Zhongli terlihat ragu-ragu "umm, Kaeya kamu ada lihat seorang pemuda masuk ke dalam bar tadi?" Kaeya mengerutkan alisnya, ada banyak anak muda yang mengunjungi bar sebaiknya Zhongli datang dengan karakteristik yang lebih rinci "yang seperti apa ya, xiansheng?" tanyanya sekali lagi.

"Umm, dia nggak terlalu tinggi, rambutnya warna hijau" nadanya jelas khawatir, Zhongli juga celingak-celinguk untuk mencari tanda-tanda orang yang dia cari "namanya Xiao" imbuhnya.

"Oh!" Kaeya menepuk tangannya "dia pakai hoodie hitam?" tanya Kaeya sekali lagi untuk memastikan anak itu adalah yang dicari oleh Zhongli. Dosennya itu mengangguk "iya, biasanya dia suka pakai itu sih" jawabnya. Mendengar konfirmasi dari Zhongli, Kaeya yakin yang dimaksud bernama Xiao itu adalah anak tersebut.

Tadi rasa kesal Kaeya sudah hilang, tapi karena sekarang ia tahu kalau si Xiao ini sudah membuat Zhongli khawatir, rasa kesalnya jadi kembali lagi.

"Saya rasa saya tahu, xiansheng, tadi ia masuk ke dalam bar" Kaeya cepu, tapi ini juga demi kebaikan "yah kaget juga sih kok bisa anak remaja masuk ke dalam bar" gumamnya pelan, Zhongli terkekeh mendengarnya, sedikit kaget karena Zhongli bisa mendengar gumamannya tadi "nggak apa kok, Kaeya, tapi Xiao udah gak remaja lagi kok, paling lebih muda setahun daripada kalian" sahutnya.

"Ah, begitukah?" Kaeya menggaruk tengkuknya, pantas dia menatap Kaeya dengan sinis tadi.

Zhongli melirik pintu masuk dan menunjuknya "itu pintu masuknya, Kae?" Kaeya ikut menoleh ke belakang "ah iya, xiansheng, mari saya temani" ia berinisiatif untuk menemani Zhongli masuk ke dalam sana karena asumsinya tadi kalau Zhongli belum pernah kemari. Ia sedikit terkekeh karena akhirnya Zhongli memanggil namanya dengan panggilan singkat. Aneh memang, gitu aja langsung senang.

Kaeya berpikir dalam langkahnya, apa hubungan si Xiao ini dengan Zhongli. Kalau dari umur tidak sejauh ayah dan anak, walaupun Kaeya sudah agak panik pas tahu orang yang dicari oleh Zhongli adalah Xiao, sebelum ia tahu pemuda itu hampir sebaya dengannya.

'Mungkin adiknya, ya adiknya sih kayaknya! Tapi judes amat nggak kayak kakaknya' Kaeya julid secara monolog dalam hati. Setelah masuk ke dalam ia pun menunjuukkan dimana Xiao duduk "dia kan, xiansheng?" Zhongli mengangguk "haa, iya" ia menghela nafas pertanda kalau ia sudah lelah mencari Xiao dari tadi , Kaeya pun baru menyadari kalau Zhongli belum mengganti outfit-nya dari pagi tadi.

Ia mendengus, astaga Xiao ini benar-benar merepotkan orang lain kerjanya. Ia secara tak sadar berkacak pinggang

Zhongli pun berjalan ke arahnya lalu menepuk pundak pemuda itu "Xiao, ayo kita pulang, kakakmu nyariin loh" yang ditegur terkejut dan sempat terdiam selama beberapa saat sama seperti Kaeya ketika mendengar Zhongli mengatakan kalau kakanya menunggu, seperti mengimplikasikan kalau Zhongli bukan kakaknya melainkan orang lain lagi.

Xiao terdiam, ia mengalihkan pandangannya dari Zhongli "lalu kenapa bukan dia yang datang?" gumam Xiao dan bisa didengar oleh mereka berdua. Sedangkan Rosaria da Dansleif yang duduk di dekat mereka bertingkah seolah tidak tahu apa-apa. Kaeya sempat bertukar pandang dengan kedua temannya itu, berusaha mengatakan kalau ia akan menjelaskan situasinya nanti.

Zhongli menghela nafas, tidak terlalu terlihat tapi Kaeya bisa melihat betapa kecewanya Zhongli, dan ia bisa lihat betapa menggemaskannya dosennya itu, ketika tanpa sadar ia merengut

"Kalau ia yang datang, kau tidak akan pulang" Xiao kembali melirik Zhongli. Lelaki itu lantas mengusak rambut hijaunya kasar "Demi Archons," gumam Xiao 'gimana gue mau nolak kalau lo begini' batinnya.

Namun Xiao tidak akan mengatakan monolognya itu secara gamblang, ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar minumnya tadi, dan pergi begitu saja meninggalkan Zhongli dan Kaeya di meja bar. Kaeya yang melihat itu jadi ingin baku hantam dengan ungrateful child tersebut.

Zhongli menggelengkan kepalanya melihat tingkah Xiao "xiansheng? nggak apa-apa?" tanya Kaeya, hampir saja ia menawarkan diri untuk menghajar wajah stoic Xiao. Akan tetapi Zhongli mengangguk menandakan kalau ia tidak apa-apa "nggak apa-apa kok, terima kasih Kaeya" ucap Zhongli tak lupa menempuk bahunya sebelum pergi menyusul Xiao keluar.

Kaeya terdiam, bahunya di pat-pat sama Zhongli?! Oh Celestia, Kaeya nggak mau cuci baju.

"Woi, ada apa sih?!" Dainsleif menghentian lamunannya "itu, tadi gue ketemu dosen gue nyari cowo tadi, eh rupanya dia bukan adek-adek" ucapnya sembari terkekeh pelan "Pantesan lo digalakin tadi" balas Dinsleif "emang siapanya?" imbuhnya.

Eh, iya juga. Ia lupa bertanya padahal itu poin yang paling bikin Kaeya penasaran. Semua duggan-dugaan itu kembali muncul ke permukaan, mulai dari opsi anak dan kakak yang sudah ia coret. Kaeya kembali berpikir apa yang mungkin?

Melihat Zhongli yang begitu peduli pada orang lain yang bukan keluarga, umur mereka juga tidak terpaut jauh, ditambah lagi tadi pagi Zhongli bilang kalau ia tidak terlalu peduli dengan hubungan romantis, menandakan kalau pria itu memang sedang menjomblo atau sudah punya pasangan yang ditetapkan makanya ia tak perlu memeikirkan hal semacam itu. Jangan-jangan ia sudah bertunangan?!Kaeya ngasal, tapi opsi terakhir bikin dia panik luar biasa

──to be continue

Notes:

halo guys, long time no update because i forgot to upload it here haha sorry guys (◜ᴗ◝)
anyways thank you for reading!! ♡⸜(ˆᗜˆ˵ )⸝♡

Notes:

halooo semua! ini fanfic pertama aku di fandom genshin impact dan pertama kalinya aku post pakai AO3, salam kenal semuanya! Thank you for reading and have a nice day!