Chapter 1: Earl Grey Tea
Chapter Text
Charan Pithakthewa yang baru genap berumur enam tahun kala itu, duduk sambil meremas ujung celananya yang selutut. Rambut dan bajunya basah diguyur hujan. Ujung jari-jarinya membeku karena dingin. Napasnya tersendat karena tangisan yang tidak kunjung berhenti.
“Ibu! Ibu!”
Ibunya yang terkapar tidak bergerak, dan darah yang mengucur ke aspal dan menggenang bersama air hujan tampak begitu jelas. Charan takut. Meski baru enam tahun, dia sudah memahami apa itu mati.
Mobil yang dikendarai Thatdanai, komandan pasukan pengawal kerajaan saat itu penuh dengan tangisan Charan dan bayi kecil bernama Khanin Assavadevathin, seorang pangeran dari keluarga Assavadevathin. Dua putra itu seakan berlomba menangis menginginkan ibu mereka.
Thatdanai yang duduk di kursi kemudi melirik sesaat ke belakang lewat spion, memastikan Khanin di baby seat dan Charan di sebelahnya di kursi belakang tetap aman. Bulir hujan menetes dari rambut ke keningnya, bercampur dengan keringat dingin—kematian teman sejawatnya, Chita, dan putri yang mereka layani, Khunita, karena tabrak lari membuat jantungnya terasa ikut copot.
Tiga puluh menit pun terlewat. Mobil mereka sampai di titik yang dituju, sisi belakang salah satu perkebunan milik Assavadevathin yang jauh dari pusat kota Davin. Kaca pintu kemudi diketuk, memecah bising hujan deras. Di pinggir mobil, Wirun, butler sang raja, berdiri sambil memegang payung hitam.
Thatdanai membuka pintu dan keluar dari mobil. Hanya kepalanya yang tertutupi payung, bahunya yang sudah basah kembali terkena hujan.
“Pergilah bersama Khanin,” Wirun menyodorkan paspor dan tiket untuk pergi ke London. “Tinggalah di sana. Kami akan mengabarimu jika sudah saatnya kembali.”
Thatdanai mengecek paspor dan tiket tersebut, hanya ada miliknya dan Khanin. Alisnya mengerut. “Bagaimana dengan Charan?”
“Charan akan bersama kami,” jawab Wirun cepat. “Sekarang cepatlah pergi.”
Thatdanai menoleh ke belakang, melihat siluet Charan kecil yang tampak di kaca mobil yang gelap dan penuh titik-titik hujan. Dia tidak tega untuk meninggalkan Charan begitu saja, apa lagi anak itu masih terguncang karena melihat jenazah ibunya. Namun, Thatdanai tahu, yang dikatakan Wirun adalah perintah rajanya, Thipokbowon Assavadevathin. Hal itu adalah perintah dan tidak bisa ditentang.
Thatdanai kembali masuk ke mobil. Wirun melangkah ke pintu mobil tepat di mana Charan duduk, lalu membukanya. “Nak,” panggilnya pelan, mimik wajahnya lebih lembut dibanding saat berbicara dengan Thatdanai.
Charan menoleh, dua tangan kecilnya mengusap air mata yang masih belum berhenti. “Paman Wirun,” panggilnya lemah sambil tersengguk-sengguk.
“Kau ikut pulang dengan Paman, ya?” Wirun mengulurkan tangannya.
Charan kebingungan. Heran kenapa dia harus berpindah dari satu orang ke orang lainnya. Dia menoleh pada Thatdanai, memastikan apa ajakan Wirun itu benar. Thatdanai mengangguk.
Perlahan, Charan meraih tangan Wirun lalu turun dari mobil. Sebelum menutup pintu, dia menatap Khanin yang mulai tertidur karena lelah di baby seat.
Wirun menggandeng tangannya di bawah payung, melewati tanah becek yang mengotori sepatunya. Wirun lalu membukakan pintu mobil yang datang bersamanya dan mempersilakan Charan masuk. Di sana Thipokbowon Assavadevathin sedang duduk menunggunya.
“Kemarilah, Charan,” panggil pria tua itu. Charan mengangguk dan segera duduk di sampingnya di kursi belakang. Wirun duduk di kursi kemudi, lalu membawa mobil itu pergi dari sana.
“Paduka, anda akan membawa saya ke mana?” tanya Charan sedikit terdengar takut.
Thipokbowon menaikkan kedua alisnya, dia kagum—anak ini masih sangat kecil, tapi begitu pandai dan sopan.
“Kau tidak perlu memanggilku begitu, Charan,” Thipokbowon mengelus rambut basah Charan dengan lembut. “Aku yang akan mengurusmu sekarang. Kau bisa memanggilku ‘kakek’.”
Petir tiba-tiba menyambar di luar. Charan terlonjak, dia menutup mata dan telinganya. Setelah hanya terdengar gaungnya, dia menoleh ke jendela. Mobil Thatdanai sudah jauh sekali hingga tidak lagi terlihat.
“Kakek,” panggil Charan pelan, agak ragu. Dia menoleh pada Thipokbowon.
“Ya?”
“Ke mana Paman Thatdanai dan adik bayi itu pergi?”
Senyum di bibir Thipokbowon tidak hilang, tapi matanya berubah menggelap. Charan menyadari itu—anak kecil memang sangatlah peka.
“Jangan bertanya atau membicarakan mereka lagi, Charan,” Thipokbowon kembali mengelus kepala anak laki-laki itu.
“Di Emmaly ada banyak orang jahat yang ingin menyelakakan mereka.”
Dua puluh tiga tahun telah berlalu. Anak kecil bernama Charan Pithakthewa itu kini telah tumbuh dewasa. Tubuh gagahnya berdiri tegak di ruang jamuan istana Emmaly. Seragam hitam dengan lencana yang menunjukkan posisinya sebagai komandan pasukan pengawal kerajaan dan kepala keluarga bangsawan Pithakthewa, melekat di sisi kanan dan kiri. Bau samar khas cat minyak dan pensil yang tidak hilang dibilas mandi dari tubuhnya bertabrakan dengan wangi pengharum ruangan beraroma mawar.
Di depannya, Thipokbowon Assavadevathin—raja Emmaly, duduk bersandar. Charan menyadari pria tua itu tampak lebih lesu dari biasanya, wajahnya pucat dan garis kerutannya bertambah, seakan menua dengan cepat beberapa bulan terakhir. Tidak jauh dari mereka, berdiri Wirun dan dua orang pelayan laki-laki yang tidak Charan kenal.
“Duduklah, Charan,” ucap Thipokbowon sambil tersenyum, menunjuk kursi di sampingnya. “Kau bisa bersikap santai, ini bukan pertemuan formal.”
“Baik, Paduka.” Charan mengangguk pelan, kemudian duduk di sana.
Sore itu, sesi melukis Charan diinterupsi mendadak oleh Thipokbowon. Katanya hanya panggilan untuk minum teh antara cucu dan kakek, tapi tentu saja Charan paham bukan itulah alasannya—karena meski Charan tumbuh dalam pengawasan dan pengasuhan Thipokbowon sejak kecil, mereka bukanlah cucu dan kakek, tapi seorang pengawal dan rajanya.
Mereka adalah seorang Pithakthewa dan Assavadevathin yang dia abdikan.
Charan menoleh ke jendela saat gemuruh angin terdengar keras dari luar. Langit kelabu tua di kota Davin meredup menyambut malam dan tidak memiliki bintang, menandakan akan segera turun hujan. Charan mengerutkan alis. ada rasa gelisah yang muncul di dalam hatinya.
Malam berhujan di mana ibunya kehilangan nyawa itu masih terekam dengan jelas, seolah makamnya selalu basah.
“Aku sangat kesepian sekarang, karena itulah aku memanggilmu untuk minum teh bersamaku.”
Ucapan Thipokbowon mengalihkan perhatian Charan.
“Anda ingin minum teh apa hari ini?” tanya Charan sopan tapi kaku, meski sudah diingatkan untuk bersikap santai sebelumnya. “Teh camomile atau oolong?” lanjutnya menyebutkan dua teh favorit Thipokbowon.
Thipokbowon menghela napas dan menggeleng, menunjukkan rasa tidak minatnya pada dua cangkir teh yang tersaji di atas meja. “Aku bosan dengan keduanya.”
“Aku tahu yang lebih bagus.” Thipokbowon mengangguk seakan mendapatkan ide—Charan tahu, pria tua itu sangat pintar berakting.
“Earl grey—pernahkah kau mencobanya? Aku menginginkan teh itu.”
Charan mengernyit mendengarnya.
“Aromanya selalu membuatku teringat pada masa lalu,” jelas Thipokbowon sambil memejamkan mata. “Namun, aku sudah tua, jadi tidak bisa membelinya sendiri. Tapi aku juga tidak bisa meminta orang lain membelinya untukku.”
Seketika Charan paham apa yang dimaksudkan sang raja—dia meminta Charan untuk membawa pulang keturunan Assavadevathin paling muda yang tinggal di Inggris.
Khanin Assavadevathin.
Charan tidak mengenalnya, dia hanya pernah melihat sang pangeran saat masih bayi sebanyak dua kali, itu pun saat dia berumur enam tahun. Namun Charan sangat hafal dengan namanya—nama yang terpahat di batu nisan dan selalu diperingati hari kematiannya.
Nama bayi yang dulu menangis bersamanya.
Kembalinya Khanin berarti pewarisan takhta akan dimulai, dan Thipokbowon menginginkan takhta itu untuk kembali dimiliki Assavadevathin. Charan tahu dengan jelas, keinginan Thipokbowon bukanlah untuk kembali berkumpul dengan keluarga. Dia hanya menyembunyikan Khanin seperti menyembunyikan kartu As di bawah lengan baju seperti penjudi yang curang.
Karena memang begitulah adanya. Seperti yang dikatakan Thipokbowon dulu; di Emmaly ada banyak orang jahat.
Namun, Charan tidak berkomentar. Memang begitulah politik. Charan yang tidak ingin ikut campur terbiasa membunuh emosinya, terutama di depan Thipokbowon. Karena dialah satu-satunya seorang Pithakthewa di Emmaly yang masih hidup, yang terikat dengan janji leluhur untuk menjaga Assavadevathin, dan tidak memiliki siapapun di pihaknya untuk melawan.
“Jika anda mengizinkan, biar saya yang membawakannya,” ucap Charan menawarkan diri.
Itu bukanlah tawaran atas dasar kemauan Charan, tapi karena perintah tidak langsung dari Thipokbowon. Ujung bibir sang raja naik tersenyum puas. Pria tua itu tidak kuasa untuk menahan rasa gembiranya.
“Pergilah Charan, kau harus segera mengambilnya. Kau tahu teh itu ada pada teman lamaku, Thatdanai.”
Thipokbowon menggenggam tangan Charan yang ujung kutikula jari-jarinya menghitam karena arang pensil.
“Aku hanya bisa mempercayaimu, cucuku,” ucap Thipokbowon dengan senyum lembut penuh tipu daya yang tidak berefek pada Charan.
Chapter Text
Seorang mahasiswa pascasarjana berdarah Emmaly memenangkan semi final Prestige Fencing Cup ke 25 yang diadakan di London. Charan mengamatinya seharian itu setelah semalam tiba di sana untuk menemuinya. Pemuda itu bernama Kenneth, dialah Khanin Assavadevathin—teh earl grey yang diinginkan rajanya.
Meski tidak tahu asal-usulnya sebagai seorang pangeran Emmaly, Khanin dibesarkan sebagai atlet anggar hingga bisa memenangkan kejuaraan. Mungkin itu hanya pengaruh Thatdanai sebagai Emmalian yang merindukan kultur dan budaya Emmaly, tapi dugaan terburuk Charan adalah Khanin memang dipersiapkan untuk perebutan takhta.
Emmaly memiliki tradisi di antara empat keluarga penguasa—Assavadevathin, Phuchongphisut, Thawichmetha, dan Meenanagarin—yang menjadi raja adalah seorang ayah yang memiliki putra yang memenangkan kompetisi anggar.
Charan menunggu di lorong depan ruang klub anggar Khanin, untuk menyampaikan pesan Thipokbowon untuk pulang ke Emmaly. Sesekali dia memutar bahu dan kakinya yang masih pegal karena perjalanan 13 jam dari kota Davin ke London.
Matanya mengedar melihat deretan loker yang selama ini hanya dia lihat di film-film asing, lalu kembali pada sang pangeran. Khanin selalu dikerubungi banyak orang. Begitu banyak orang yang menemuinya untuk memberi ucapan selamat atas kemenangannya hari itu, membuat Charan hanya bisa menatap dari jauh.
Dari banyaknya orang yang berlalu-lalang, Charan menyadari ada dua orang laki-laki yang juga mengawasi Khanin. Dua orang itu bertubuh besar dan berpakaian serba hitam, juga memakai masker.
Tidak lama, Khanin pun beranjak keluar dari ruang klubnya. Dia berjalan masuk ke dalam stasiun kereta bawah tanah yang berada tepat di depan gedung kampusnya. Charan mengikutinya dari kejauhan, sambil terus mengawasi dua orang yang mencurigakan yang juga mengekor. Khanin menuruni tangga lalu berbelok, saat itulah dia menghilang.
Charan segera mempercepat langkahnya, tubuhnya sibuk miring ke kanan dan ke kiri agar tidak menabrak orang-orang yang berjalan melawan arah darinya. Matanya mengedar mencari-cari rambut coklat muda Khanin. Dia panik, takut kalau yang mengikuti Khanin bukan hanya dua orang yang dia lihat, tapi ada yang lain juga.
“Hey!”
Panggilan itu menghentikan kaki Charan yang siap berlari.
“Why are you following me?!”
Suara tingginya terdengar galak. Khanin muncul dari balik mesin penjual otomatis dengan mata penuh curiga, menatap Charan dari atas ke bawah. Charan kemudian sadar bahwa kaos dan jaket yang dia pakai juga berwarna serba hitam—yang membuatnya sama mencurigakannya dengan dua orang yang mengikuti Khanin.
“Are you a scout?!”
Oh?
Setidaknya Khanin tidak mengira dirinya sebagai orang yang berbahaya.
Charan ingin menjawab dan meluruskan kesalahpahaman Khanin setelah pertanyaan beruntunnya, tapi pemuda itu langsung melipat kedua tangan di dada dan mengumpat.
“Hah! Orang-orang begini tiap kali tertangkap basah tidak pernah membuka mulut!”
Khanin yang sedang menggerutu sendiri kemudian tersadar bahwa pria tinggi berwajah tampan di depannya itu tengah memperhatikannya. Khanin mengerutkan alis.
“Kenapa? Penasaran dengan ucapanku?” Khanin mendengus geli, meledek pria di hadapannya yang dia pikir tidak mengerti bahasa Thailand yang juga digunakan Emmalian.
Charan tidak bergeming. Setelah memperhatikan Khanin dari dekat, Charan tidak bisa berhenti memandangnya. Melukis sebagai hobi dan pekerjaan membuatnya selalu tertarik dengan hal-hal yang indah; cincin pernikahan ibunya, langit sore di pantai Meenanagarin, dan sekarang—wajah cantik Khanin. Tangan Charan gatal untuk mengabadikan mata sipit dengan bulu mata lentik, hidung mancung sempurna, bibir plump merah muda, dan rahang tegas di wajah androgini itu ke kanvas di ruang lukisnya.
“Ja-jangan menatapku begitu!” Khanin yang bergidik mundur selangkah. “Apa kau menyukaiku?! Kau stalker, ya?!” tuduh Khanin beruntun sambil menunjuk ke wajah Charan. Akhir-akhir ini kasus penguntit sering muncul di berita jam sembilan malam.
Ah, yang benar saja?
Charan tidak merasa perlu meluruskan kesalahpahaman yang semacam ini, dia ingin segera pergi dari sana dan membiarkan Khanin pulang, karena perintah Thipokbowon lebih baik diketahui oleh Thatdanai lebih dulu setelah melihat perangai Khanin—bisa saja Khanin tidak akan percaya soal kakeknya yang seorang raja memintanya untuk kembali dan malah menuduh Charan aneh-aneh. Namun, Charan kembali melihat seorang pria tidak dikenal yang tampak mencurigakan tengah mengawasi mereka dari jauh.
“Kalau iya, lalu kau bisa apa?”
Mata Khanin terbelalak mendengar Charan menggunakan bahasa yang sama dengan dirinya. Tangannya yang menunjuk terhenti di udara.
Charan mendekat pada Khanin. Tiap kali Charan maju selangkah, Khanin ikut mundur selangkah dengan gugup.
“Apa yang bisa kau lakukan dengan lengan kecilmu itu?”
“Kau—” Rahang Khanin kaku. Dia bingung harus marah dulu karena baru saja diremehkan atau berteriak karena ada pria asing yang mengaku dirinya stalker.
“Kau tahu apa soal a—”
“Bahkan gerakan bahumu saat bermain anggar tadi tampak lemah.
Charan hanya mengulur waktu, dia hanya ingin memastikan Khanin tetap bersamanya selagi masih diikuti orang-orang yang mencurigakan. Meski omongannya soal gerakan bahu itu benar.
“Tidak kusangka level atlet top di sini hanya sebatas ini saja.”
Charan tampak berwajah datar, tapi Khanin berani bersumpah dia melihat mata yang merendahkan dan sebelah sudut bibir yang naik tersenyum mengejek beberapa detik di wajah pria itu.
Di kejauhan, orang yang mengawasi Khanin pun pergi karena orang-orang di sekeliling mulai ramai memperhatikan Charan dan Khanin yang tampak bertengkar—meski tidak mengerti apa isi pembicaraan dua orang Asia tersebut, pertengkaran selalu menyenangkan untuk dilihat!
Belum sempat Khanin membalas ucapan Charan, kereta yang dia tunggu pun datang. Khanin memberikan tatapan tajam seperti kucing galak yang bulunya berdiri—yang pastinya tidak membuat Charan takut, kemudian berlari masuk ke dalam kereta meninggalkan Charan. Sesaat sebelum pintu kereta tertutup secara otomatis, Khanin mengacungkan jari tengah dan menjulurkan lidah pada Charan yang masih menatapnya.
Sudut bibir Charan bergetar menahan tawa. Khanin Assavadevathin benar-benar lucu.
Notes:
AKU TIM CHARAN FELL FIRST HAHAHAHAHAHSHGS
Chapter 3: Tanya Ayahmu
Notes:
Semua panggilan dan honorifik akan menggunakan Bahasa Indonesia, kecuali "Khun" yang ga aku temuin padanan katanya yang pas.
Aku juga masih bingung mau ngubah "Phi" jadi "Kak", I mean, "Kak Ran" kedengeran gemes banget ga sih 🥴
Chapter Text
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti di mana keberadaan Khanin karena Thatdanai selalu berpindah tempat, bahkan Thipokbowon sekali pun, untuk menjaga kerahasiaannya—dan itu tidak menjadi masalah karena raja seperti dirinya bisa semudah itu menugaskan orang lain untuk segera mencarinya. Informasinya hanya sekadar di London—seolah London hanya seluas kebun cabai!
Tapi untuk seorang komandan pasukan pengawal yang terlatih dan cakap seperti Charan, mencari Khanin bukanlah hal yang sulit. Informasi sangatlah terbuka sekarang, Charan hanya perlu mencari mahasiswa keturunan Asia dan memilahnya lagi untuk mencari Emmalian di sana, karena jumlah Emmalian sangatlah sedikit jika dibandingkan negara lain. Begitulah caranya menemukan Kenneth.
Kini jam menunjukkan pukul enam sore, Charan memarkirkan motor sewaannya di depan sebuah rumah yang ditunjuk setelah bertanya pada beberapa orang yang tinggal di sana. Rumah itu bergaya modern, tidak memiliki pagar dan sangat sederhana dengan sepetak taman. Kalau dibandingkan dengan mansion miliknya, ukuran keseluruhan rumah itu hanya sebesar ruang tamu. Tidak akan ada yang menyangka kalau seorang pangeran tinggal di sana.
Charan melepas helm dan menggantungnya sembarang di stang motor. Perlahan dia berjalan ke depan pintu. Bel di sebelah kanannya ditekan. Tidak lama, terdengar seruan seorang pria dan langkah yang mendekat dari dalam.
“Coming!”
Pintu berwarna putih di depan Charan pun dibuka. Dari baliknya, muncul seorang pria berumur sekitar 50 tahun, berambut hitam, dan memakai kacamata—dia adalah Thatdanai yang Charan cari. Thatdanai terlihat bingung begitu melihat pria asing di depan pintunya; umurnya mungkin sedikit lebih tua dari putranya, rambut hitam dan alis tebalnya kontras dengan kulitnya yang putih gading, tubuhnya tinggi, dan otot-otot di lengannya menimbul di jaket coklatnya—dia tidak mengenal pria itu, tapi senyum tidak lepas dari bibirnya.
“Hi, are you looking for someone?”
“Selamat siang, Khun Thatdanai,” Charan tidak menjawab pertanyaannya, dia menunduk memberi salam dengan hormat pada mantan komandan pasukan pengawal itu.
“Saya Charan Pithakthewa.”
Senyum seketika hilang dari wajah Thatdanai. Begitu mendengar namanya, dia tahu bahwa pria tersebut adalah putra temannya, mendiang Chita. Kehidupannya sebagai seorang ayah seketika runtuh.
“Silakan masuk, Khun Charan.” Thatdanai mundur dan membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Charan untuk duduk di ruang tamu.
Setelah Charan masuk, Thatdanai menoleh ke luar sesaat sebelum menutup pintu, memastikan tidak ada yang mengawasi mereka. Dia lalu menyusul Charan dan duduk berhadapan dengannya. Kedatangan Charan membuat Thatdanai yang telah lama meninggalkan hidupnya sebagai pengawal gugup, hingga dia lupa menyuguhkan minum untuk tamunya.
“Apa terjadi sesuatu dengan Baginda Raja?” tanya Thatdanai.
Charan tahu dengan jelas ada yang salah dengan Thipokbowon. Pria tua itu terlihat melemah akhir-akhir ini dan meminta pangeran yang dia sembunyikan untuk kembali ke Emmaly. Kemungkinan besar, Thipokbowon sedang sakit keras dan ingin mengamankan posisi Assavadevathin sebelum dia berpulang. Tapi keadaan seorang raja tidak bisa dibicarakan begitu saja.
“Tidak ada,” jawab Charan cepat. “Beliau hanya meminta Yang Mulia Pangeran untuk kembali ke Emmaly.”
“Apa boleh menunggu sampai kuliah Khanin selesai?”
“Perintah Baginda Raja bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasi,” ucap Charan dengan tegas dan kaku. Tapi Thatdanai yang menunduk sedih tampak seperti orang tua biasa dan bukannya mantan komandan pasukan pengawal membuat hati Charan sedikit goyah. Charan menghela napas.
“Saya sudah bertemu dengan Yang Mulia Pangeran kemarin.”
Thatdanai mengangkat wajahnya, lalu menyimak.
“Ada orang-orang yang mengawasi beliau. Kemungkinan kepergian saya ke sini dan informasi keberadaannya bocor,” jelas Charan. Thatdanai mengerutkan alis dengan kencang, dia tahu dengan pasti seberbahaya apa politik di Emmaly, karena raja yang dia layani itu kejam dan calon raja dari keluarga penguasa lain pun tidak ada bedanya.
“Saya rasa berbahaya kalau anda dan Yang Mulia Pangeran berlama-lama di sini.”
“Beri aku waktu beberapa hari, biar aku yang menjelaskannya pada Nin—” Thatdanai berdeham, “maksud saya, Yang Mulia Pangeran,” ralatnya.
Charan menghela napas berat. “Baiklah, tapi saya akan menginap di sini untuk menjaga beliau.”
Thatdanai mengangguk lemah.
Perhatian Charan teralih pada foto-foto Khanin dan Thatdanai yang dipajang di dinding. Dari kecil hingga dewasa, dari hari kelulusan sampai menang kompetisi ada di sana. Mereka terlihat seperti ayah dan anak sungguhan.
“Dia tumbuh dengan baik," gumam Charan pelan, tidak terdengar Thatdanai. Matanya tidak lepas dari deretan foto Khanin dan Thatdanai. Ada sedikit rasa iri, tapi dia jauh lebih bersyukur melihat bayi yang dia lihat di malam berhujan itu hidup bahagia di keluarga kecil yang baru, tidak seperti dirinya yang terjebak di Assavadevathin.
“Apa anda yang mengajarinya anggar, Khun Thatdanai?” tanya Charan tanpa menoleh. “Benar,” Thatdanai mengangguk kecil, sedikit lupa dengan kekhawatirannya dan ingin membanggakan diri karena kini Khanin menjadi atlet yang diperhitungkan.
“Sepertinya pelatihan anda tidak cukup bagus, gerakan bahu Yang Mulia Pangeran sangat kaku, saya tidak sanggup melihatnya kemarin.”
Thatdanai mengernyit—apa-apaan bocah ini?! Dia tidak bisa menebak apa Charan serius mengatainya atau sekadar bercanda untuk mencairkan suasana karena wajah Charan lebih datar dari LED TV keluaran terbaru.
Saat Thatdanai terperangah, pintu tiba-tiba dibuka.
“Surprise!” seru Khanin yang baru datang sambil membawa trofi kemenangannya di final hari itu. Senyum Khanin segera menghilang saat dia melihat Charan, begitu juga dengan Thatdanai yang kembali mengingat kenyataan perihal mereka dalam bahaya dan Khanin harus segera ke Emmaly.
“Hei, kenapa kau bisa ada di sini?!” pekik Khanin sambil menunjuk Charan.
Charan menatap Thatdanai yang tampak ragu dan Khanin yang siap meledak bergantian. Dia bangun dari duduknya. “Saya—”
“Aku yang akan mengatakannya, Khun Charan,” potong Thatdanai dengan cepat. Charan menghela napas, lalu mengangkat kedua bahu mempersilakan.
“Apa ini?” Khanin benar-benar tidak mengerti kenapa ayahnya duduk bersama si penguntit di rumahnya. “Mengatakan soal apa?”
“Nin,” panggil Thatdanai lembut seraya berdiri, lalu menepuk bahu Khanin, berusaha menenangkan. “Dia Charan, cucu teman lamaku.”
“Charan?” ulang Khanin dengan alis yang masih mengerut, menatap Charan dan ayahnya bergantian.
“Dia akan menginap di sini.”
“Tidak. Sebentar.” Khanin dengan cepat menyela Thatdanai. “Jelaskan dulu apa yang mau ayah katakan,” dia melirik Charan sesaat, kemudian kembali pada ayahnya, “lalu beritahu aku kenapa dia akan menginap di sini.”
“Bersikaplah yang sopan di depan tamu, Khanin.”
Thatdanai masih tidak menjawab pertanyaan Khanin, dan justru terlihat enggan. Khanin yang kesal karena tidak mendapatkan jawaban segera masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
Di mata Charan, Thatdanai tidak terlihat cukup mampu untuk mengatakan perihal identitas asli Khanin. Dia tampak benar-benar menyayangi Khanin seperti anaknya sendiri. Sisi pengawal kerajaan benar-benar sudah hilang dari dirinya, tapi Charan tidak akan menginterupsi untuk menghargai Thatdanai sebagai orang yang lebih tua.
Rumah Thatdanai yang tidak memiliki kamar tamu membuat Charan terpaksa tidur di sofa ruang tamu. Meski begitu, Charan tidak merasa keberatan, karena dengan begitu tugasnya untuk menjaga rumah ini menjadi lebih mudah. Satu-satunya masalah hanyalah kakinya yang terlalu panjang untuk direbahkan di sofa.
Jam di smartphone menunjukkan pukul sebelas malam, Charan yang masih terjaga menyibak selimut, kemudian bangun dari duduknya. Dia beranjak ke dapur untuk mengambil minum karena tenggorokannya terasa kering. Di sana, dia berpapasan dengan Khanin yang membawa secangkir susu hangat, yang langsung menekuk bibir begitu melihat wajahnya. Charan mengabaikan ekspresi itu dan membuang muka, dia hanya ingin minum dan kembali.
“Kau mau ke mana?” tanya Khanin menghentikan langkah Charan, dia langsung berdiri menghalangi. Khanin berdecak pinggang, sang pangeran berusaha mengintimidasi dengan kekanakan. “Kenapa kau ke dapur?”
Charan mendengus. “Kau melarangku?”
“Tidak.” Khanin mengangkat kedua bahunya. “Aku hanya tidak terbiasa dengan stalker di rumahku,” ucapnya seraya menatap curiga pada Charan dari atas ke bawah, lalu menilai buruk selera fashion Charan karena memakai kemeja dan celana panjang hitam di rumah—orang aneh ini masih berpenampilan seperti model iklan sampo anti ketombe!
“Kenapa kau menginap di sini?” tanya Khanin lagi.
“Tanya ayahmu,” jawab Charan cepat, dengan tatapan meremehkan seolah sedang berbicara dengan anak kecil.
“Aku bertanya padamu,” Khanin mendecakkan lidah. Bukannya dia tidak bertanya pada ayahnya, tapi sejak tadi ayahnya itu selalu berkilah.
“Apa kau tidak punya tempat tinggal?”
Charan menghela napas, pertanyaan Khanin benar-benar tidak ada habisnya.
“Punya. Tapi aku harus berada di sini.”
“Kenapa?”
Charan mendekat dan sedikit membungkuk pada Khanin, membuat wajah mereka berhadapan dengan sejajar, seolah akan mengatakan hal penting dan rahasia.
“Tanya ayahmu.”
Charan segera meninggalkan Khanin yang terbelalak begitu saja, di belakangnya terdengar suara Khanin yang mengumpat kecil, membuat Charan mendengus geli.
Chapter 4: Tugas
Chapter Text
Sudah tiga hari Charan menginap di rumah Khanin. Jejak-jejak kehadiran pria itu semakin lama terasa seperti penghuni rumah tetap.
Khanin yang hari itu hanya bermalas-malasan seharian di kamar, membuka smartphone-nya yang bergetar di samping bantal. Paul, teman satu kampus dan klub anggarnya, mengajaknya untuk berpesta atas kemenangannya—sudah lewat tiga hari, Khanin tahu itu hanyalah alasan Paul untuk mengadakan pesta.
Khanin yang hampir menyatu dengan ranjang sebenarnya malas untuk bangun, tapi ide Paul lumayan juga untuk menghilangkan suntuk karena bosan melihat wajah Charan yang seperti kanebo kering.
Pangeran muda itu segera mengganti pakaian dan menata rambut. Tangannya meraih jaket, lalu keluar dari kamarnya yang ada di lantai dua. Saat menuruni tangga, terdengar Thatdanai yang sedang mengobrol dengan Charan. Obrolan itu terhenti saat mata mereka bertemu.
Khanin mendecakkan lidah.
Dia berjalan ke rak sepatu, sambil mengabaikan Thatdanai dan Charan yang duduk di sofa ruang tamu, membicarakan rencana kepulangan mereka ke Emmaly yang masih dirahasiakan darinya. Mata tajam dan bibir mengerucut yang Khanin buat persis karakter remaja pembangkang khas film coming of age awal 2000an. Dia benar-benar kesal karena ayahnya masih main rahasia-rahasiaan bersama orang asing tanpa mengajaknya.
Kedua alis Charan bertaut.
“Mau ke mana?” tanya Charan dengan tangan melipat di dada. Wajah serius. Tampak seperti ayah yang kolot. Thatdanai di sampingnya hanya duduk termangu bagai istri yang tidak punya kedudukan di rumah.
“Bukan urusanmu,” balas Khanin ketus. Dia ambil sepatu hitam bertali miliknya, lalu berjongkok untuk memasang sepatu itu. “Orang asing yang menumpang tidak perlu tahu.” Khanin menoleh, saat mata mereka bertatapan, dia tersenyum mengejek.
“Ayah,” seru Khanin pada Thatdanai dengan mata yang tidak lepas dari Charan.
“Ya?” Thatdanai menaikkan kedua alisnya.
“Aku akan main ke rumah Paul sampai tengah malam nanti. Dia bilang mau mengadakan pesta untuk merayakan kemenanganku.”
Informasi ke mana tujuan Khanin malam itu bukanlah rahasia. Tidak masalah kalau Charan tahu. Khanin hanya ingin menunjukkan betapa dia tidak menganggap keberadaan Charan—kekanak-kanakan. Tapi Charan tidak mengambil hati soal itu, apa yang Khanin pikirkan tentang dirinya tidaklah penting—Khanin tidak lebih penting dari tugasnya.
“Aku ikut.” Charan segera bangun dari duduknya, lalu mengambil jaketnya yang diletakkan di sandaran sofa.
“Hah?!” Khanin yang semula ingin mempermainkan Charan justru terkejut. “Masa kau ikut?!” Khanin bangun dan berdecak pinggang dengan kesal. “Aku tidak mau!” tolaknya tegas.
Charan tidak merespon, masih dengan wajah kaku yang datar, dia menoleh pada Thatdanai sambil mengenakan jaket.
Thatdanai berdeham. “Nin, kau ajak Charan, ya?” Thatdanai membujuk dengan senyum yang dipaksa. “Dia…” Thatdanai terdiam sesaat, mencari-cari alasan di kepalanya.
“Ini kan pertama kalinya dia ke London, dia pasti mau melihat banyak tempat di sini.”
Aduh!
Thatdanai sendiri sadar itu alasan yang tidak masuk akal. Dia menoleh, tampak Charan tengah menatapnya kecewa. Pria itu menggeleng kecil dan menghela napas. Thatdanai kembali berdeham, lalu mengalihkan pandangan ke sudut dinding kosong, seolah tidak terjadi apapun.
Benar-benar alasan yang konyol—orang ini tidak punya bakat untuk mengintimidasi atau berbohong!
Khanin tertegun sesaat, lalu meninggikan suaranya.
“Rumah Paul bukan destinasi turis, Ayah!”
Tentu saja.
Charan sudah kehilangan kesabaran, dia tidak bisa membiarkan Thatdanai bertele-tele lagi. Semakin lama akan semakin sulit untuk mereka tinggal di sana, terutama jika Khanin selalu berusaha lepas dari pengawasannya.
“Khun Thatdanai, lebih baik cepat anda katakan yang sebenarnya jika memang anda sendiri yang mau menjelaskan. Saya tidak bisa melakukan tugas dengan benar jika orang yang saya lindungi justru mengganggu tugas saya.”
Khanin mengernyit. Cara bicara Charan pada Thatdanai terdengar formal dan seperti sedang bicara pada kolega, bukan pada orang tua.
Thatdanai menatap ragu. Dia bangun dari duduknya, lalu perlahan membungkuk ke arah Khanin.
“Ayah…” Khanin terperangah. Dia segera berlari kecil ke Thatdanai dan menahan tubuh sang ayah agar tidak membungkuk sempurna padanya. “Apa yang Ayah lakukan?!”
“Anda adalah Yang Mulia Pangeran Khanin Assavadevathin, pangeran kerajaan Emmaly.”
“Ayah bicara apa, si—”
“Saya bukan ayah kandung anda, Yang Mulia.” Suara Thatdanai bergetar. Pengakuan itu remeh untuk seorang pengawal dari Assavadevathin, tapi seberat batu untuk seorang ayah.
“Tugas saya telah selesai. Sudah waktunya anda kembali ke Emmaly, Yang Mulia.”
Penglihatan Khanin mulai mengabur ditutupi air mata. Dadanya sesak dengan kebingungan dan hati yang remuk. Fakta bahwa dirinya seorang pangeran tidak lebih mengguncang dibanding kenyataan bahwa dirinya bukanlah putra ayahnya.
“Ayah, kau bohong, kan?” Suara Khanin melemah. Tangannya masih berusaha menaikkan bahu Thatdanai, menolak penghormatannya. “Ayah!” Panggilnya lagi pada Thatdanai yang tidak menjawab.
“Maaf selama ini saya tidak pernah mengatakannya dan berlaku pantas pada anda, Yang Mulia.”
“Tidak. Ayah, berhenti memanggilku begitu! Aku ‘Nin’, anak Ayah!” Tangan Khanin menangkup pipi ayahnya, tapi Thatdanai enggan mendongak.
Charan tanpa sadar mengulurkan tangan ke arah mereka, berniat menepuk pundak dua orang yang tampak hancur. Tiap kali matanya mengedip, pandangan di depannya tumpang tindih dengan Paman Thatdanai dan adik bayi di malam dengan hujan deras.
Suara gagang pintu yang diputar menyadarkan Charan, asalnya dari pintu yang mengarah ke belakang rumah di dapur. Dia segera menarik Khanin dan Thatdanai untuk berdiri di belakangnya.
“Khun Thatdanai, mereka ada di sini.”
Thatdanai segera mengambil tas selempang kecil dan memberikannya pada Khanin, kemudian menarik Khanin untuk berdiri di belakangnya.
Brak! Pintu belakang dibuka dengan paksa. Muncul dua orang pria yang beberapa hari sebelumnya Charan pergoki tengah mengikuti Khanin. Mereka tidak lebih tinggi dari Charan, tapi tubuh besar berotot dan wajah sangarnya mengintimidasi.
Mereka mulai menyerang, yang berambut pendek dengan seringai dingin meluncur ke depan, mencoba menghujamkan pisau lipatnya ke perut Charan. Charan bereaksi seketika, memutar tubuh dan mencondongkan badan ke belakang, menghindar dalam jarak satu inci. Dia lalu mengunci tangan pria itu dan membenturkan kepalanya dengan siku. Di sisi lain, yang berambut panjang berlari ke arah Khanin sambil mengayunkan parang. Thatdanai segera mendorong Khanin menjauh, mengambil payung di dekatnya dan menangkisnya, tidak terlalu kuat karena sudah mulai berumur, tapi gerakannya masih cepat dan terlatih.
“Ayah!”
Tidak ada yang bisa Khanin lakukan. Dia panik, sekaligus terkejut melihat ayahnya mampu melakukan hal-hal yang tidak dia kira.
Thatdanai menghantamkan ujung payung yang terbuat dari logam itu tepat ke pergelangan tangan pria itu, membuatnya berteriak dan menjatuhkan parang. Penderitaan pria itu belum berakhir, selagi mengaduh, Charan menendang kepalanya. Sesaat sebelum kehilangan kesadaran, dia melihat temannya yang juga sudah dibuat terkapar pingsan oleh Charan juga.
Charan meraih pergelangan tangan Khanin dan menggandengnya untuk keluar, Thatdanai mengekor di belakang. Namun, saat membuka pintu, tiga orang pria berpakaian hitam telah menunggu mereka. Pria yang paling depan melangkah maju sambil mengacungkan pistol ke kening Charan. Tanpa sepengetahuannya, dari samping, Thatdanai mengendap, lalu mengunci leher dan tangan pria itu.
“Khanin, pergilah dengan Charan!”
Khanin tidak setuju dengan ide itu, tapi belum sempat dia menjawab, Charan sudah menarik Khanin untuk keluar. Charan mendekap Khanin dan membawanya berlari, menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk sang pangeran.
“Tunggu! Kita harus menolong Ayah!” Khanin mencoba melepaskan diri dari Charan.
“Kita harus pergi sekarang!” tegas Charan setengah berteriak.
Dua pria di belakang berhasil mengejar mereka. Saat hanya berbeda selangkah, dengan sekali gerak, Charan berbalik dan menarik Khanin untuk berada di belakangnya, dengan tangan kiri yang memegangi pergelangan tangan Khanin dengan kuat.
Charan mengayunkan tinju ke rahang dua pria yang lain hingga jatuh, sebelum mereka sempat mengeluarkan senjata. Dia lalu membawa Khanin berlari ke motor sewaannya yang diparkirkan di depan rumah.
“Kumohon, jangan tinggalkan ayahku,” Khanin masih mencoba berontak, suaranya bergetar dan gerakannya melemah karena menangis. “Kalau kau tidak mau, biarkan aku sendiri yang menolongnya.”
“Jangan sia-siakan apa yang Khun Thatdanai lakukan,” Charan menarik tubuh Khanin untuk menghadapnya, lalu menangkup kedua pipi Khanin saat pangeran muda itu sedikit lebih tenang. “Dengarkan aku—kita pergi sekarang.”
Charan menghela napas lega saat Khanin mengangguk lemah, tangannya mengambil helm untuk memakaikannya pada Khanin, tapi saat itulah Khanin berteriak, “awas!”
Charan berputar dengan cepat dan menghantamkan helm ke kepala pria yang tengah berlari ke arah mereka sambil memegang pistol. Pria itu limbung, dan Charan kembali menyerang kepalanya dengan helm berkali-kali. Krak! Suara retak nyaring terdengar. Pria itu tidak lagi bergerak di bawah Charan.
Saat melihat ada lagi pria berpakaian hitam yang berlari ke arah mereka sambil membawa parang, Charan merogoh saku jaket pria di bawahnya; dia menemukan pistol. Tanpa berpikir panjang, Charan menembak pria yang tengah berlari di bagian perut. Pria itu berteriak sambil menjatuhkan parangnya, dia jatuh berlutut memegangi perut.
Dari saku yang dirogohnya, Charan menemukan benda lain; lencana pasukan pengawal Phuchongphisut.
Apa mereka benar-benar seberani itu hingga membawa bukti identitas saat berniat membunuh pangeran dari keluarga kerajaan yang tengah berkuasa? Atau ini hanyalah jebakan?
Charan mengambil lencana tersebut dan mengantonginya di celana. Dia berbalik, lalu mendapati Khanin tengah menatapnya takut, matanya membulat besar dan kedua tangannya mencengkram tas kecil yang Thatdanai beri.
Charan tebak; ini pertama kalinya Khanin melibat orang yang meninggal karena dibunuh—Charan belum memastikan apa dua orang yang dia serang benar-benar meninggal, tapi dari luka yang mereka terima dan tidak mendapatkan penanganan langsung, jelas tidak ada harapan untuk selamat.
Charan tidak perlu menjelaskan apapun, yang dia lakukan hanyalah tugas.
Dia berjalan mendekat dan menaiki motor, tangannya mengeluarkan kunci, lalu menyalakan mesin. “Naik,” titah Charan singkat. Tidak ada jawaban, tapi Khanin menurut duduk di belakangnya. Charan memutar gas dan mengendarai motor pergi dari sana.
Di sepanjang jalan, punggungnya terasa hangat dan basah oleh air mata Khanin. Charan hanya diam dan fokus pada jalan.
Charan tidak perlu memberikan kalimat penghiburan apapun, yang dia lakukan hanyalah tugas.
Chapter 5: Pagi yang baru
Chapter Text
Sejujurnya, Charan lelah setengah mati. Entah dosa apa yang diperbuat Thipokbowon hingga membawa pulang cucunya saja harus sesulit itu. Tubuhnya berdiri sambil melipat kedua tangan di dada ditopang kitchen island. Matanya yang mengantuk menatap kosong ke dalam teko listrik. Gelembung-gelembung udara kecil naik ke permukaan air, lalu pecah membuat riak, menandakan mendidihnya air. Charan pun sadar dari lamunannya, dia kemudian menekan tombol daya untuk mematikan mesin.
“Anda mau kopi atau teh?” Charan bertanya dengan sedikit mengeraskan suara agar terdengar oleh Khanin yang berada di kamar.
“Samakan saja denganmu.” Suara Khanin parau.
Charan mengambil dua bungkus teh camomile yang mampu menenangkan tubuh, lalu menyeduhnya ke dalam dua cangkir putih. Setelah warna kuning perlahan menyebar di air, Charan bawa kedua cangkir itu, melangkah masuk ke dalam kamar di mana Khanin berada.
Sekarang, mereka tengah berada di suite room sebuah hotel yang tidak jauh dari kampus Khanin di tengah kota, yang Charan pakai sebelum menginap di rumah Thatdanai.
Pintu kamar mandi yang terbuka memperlihatkan Khanin yang tengah mencuci wajah di wastafel. Wajah merah dan mata sembabnya terlihat dari pantulan cermin. Charan tidak ingin mengusik Khanin, setelah meletakkan satu cangkir teh di atas nakas, dia segera bermaksud pergi.
“Tunggu,” seru Khanin menghentikan langkah Charan. “Duduklah di situ sebentar.”
Charan tidak tahu apa urusan Khanin dengannya, tapi dia tidak bertanya dan segera duduk di pinggir ranjang, menuruti perintah pangerannya. Khanin mendatangi Charan sambil membawa kotak obat dan handuk yang dibasahi sedikit. Pangeran muda itu tampak lebih tenang dari biasanya—tiga hari cukup untuk Charan mengenali Khanin sebagai pribadi yang meletup-letup seperti kembang api.
Charan menaikkan kedua alis saat Khanin duduk di sampingnya. Khanin tidak mengatakan apapun, dia meletakkan kotak obat di atas nakas di sebelah mereka, lalu meraih tangan Charan dan menggunakan ujung handuk untuk membersihkan luka di buku-buku jari Charan.
“Anda tidak perlu melakukannya!” Seru Charan pelan sambil menarik tangannya sendiri dengan panik. Sungkan, dan rasanya aneh menerima bantuan dan perhatian yang tidak pernah didapatnya setelah kehilangan orang tua.
Mata sembab Khanin menatap lurus Charan.
“Beri tahu aku nama dan posisimu.”
“Saya Charan Pithakthewa, komandan pasukan pengawal.”
Cara bicara Charan yang berubah kaku dan formal sedikit mengganggu Khanin, tapi Khanin tidak mempermasalahkan itu—setidaknya untuk sekarang.
“Apa posisimu bisa melawan keinginanku?”
Tidak.
Charan tidak menjawab. Di hadapannya Khanin terlihat menunggu sambil membuka tangannya, seperti menunggu salam dari anak anjing peliharaan. Dengan pasrah, Charan memberikan tangan kanannya. Khanin merebut cangkir yang dipegang Charan, lalu mulai membersihkan lukanya dengan lembut dan hati-hati. Sentuhannya begitu ringan seakan tangan besar Charan mudah remuk.
“Saya kira anda takut.”
“Padamu?” Khanin mendengus geli. “Lumayan.”
Malam itu adalah pengalaman pertamanya melihat kepala yang retak dihantam helm dan orang yang tumbang karena ditembak di tempat secara langsung. Jantungnya hampir copot. Tapi Khanin mengerti bahwa Charan hanya ingin melindunginya, karena itulah Khanin tidak akan menghakimi.
Khanin melepas tangan kanan Charan, lalu meminta yang kiri tanpa berucap dan hanya menggerakkan alis. Charan memberikan tangan kirinya—dia benar-benar merasa seperti anjing peliharaan sekarang.
“Apa semua orang dari Emmaly bisa melakukan yang kau lakukan?”
“Kalau ini soal bela diri, saya bukan rakyat sipil—saya bisa melakukannya karena mendapat pelatihan khusus.”
“Apa ayahku bisa melakukannya juga?”
“Anda tidak melihat bagaimana Khun Thatdanai menangkis parang tadi?”
Khanin tertawa kecil. Tentu dia lihat. “Iya, ya? Dia kelihatan jago berkelahi, keren sekali.” Senyum tipis terbentuk dari sisa tawanya. Kalau Thatdanai memang sejago Charan, setidaknya, Khanin bisa sedikit bernapas lega karena kemungkinan ayahnya selamat itu besar.
“Menurutmu apa kami bisa bertemu lagi?” tanya Khanin pelan, matanya kembali berkaca-kaca.
“Khun Thatdanai berencana kembali ke Emmaly, anda bisa menunggunya di sana.”
Meski rencana awalnya begitu, Charan tidak tahu dengan pasti ketika mereka berpencar sekarang. Terlebih karena mereka tidak bisa berkomunikasi karena khawatir smartphone mereka telah diretas. Tapi hanya itulah yang bisa Charan katakan pada sang pangeran yang tengah berbaik hati membersihkan lukanya.
“Oh, ya?” Khanin mengelap bulu matanya yang basah dengan punggung tangan. Khanin berdeham. Dirinya yang sejak tadi menangis merasa kikuk dan malu, dia kemudian mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Orang-orang yang menyerang kita—apa mereka mengincarku?”
“Benar.”
Khanin telah selesai membersihkan luka Charan, dia lalu mengambil kotak obat di atas nakas, dan meletakkannya di atas pahanya. Setelah dibuka, dia mengambil salep antiseptik dari sana.
“Kenapa mereka mengincarku?”
Khanin memencet wadah salep, saat isinya keluar sebesar biji jagung, dia ambil dengan telunjuk, kemudian mengoleskannya di buku-buku jari Charan yang terluka. Mata Charan mengikuti telunjuk Khanin—ramping dan kuku panjangnya bersih dengan warna merah muda, bahkan jarinya pun cantik.
“Saya tidak tahu alasannya, tapi satu hal yang pasti,” mata Charan berpindah menatap lurus pada Khanin, “banyak orang jahat di Emmaly.”
“Dan kau mau membawaku ke sana?”
Khanin menggenggam kedua tangan Charan, lalu meniup luka yang telah dibubuhi salep—seperti sedang mengobati anak kecil. Alis Charan berkerut, udara yang ditiup Khanin terasa dingin dan menggelitik.
“Saya hanya melaksanakan tugas.”
Khanin tertawa mengejek.
“Kalau kau disuruh masuk ke dalam sumur, apa kau akan masuk?”
“Tidak. Tapi anda tetap akan menemukan saya di dalam sumur.”
Senyum sisa tawa Khanin menghilang mendengarnya. Mungkin, yang menunggunya di Emmaly bukanlah keluarga yang merindukannya.
“Kalau tidak ada lagi yang ingin anda tanyakan, saya permisi.” Charan membungkuk memberi salam, bersiap beranjak dari duduknya. Namun, Khanin tetap memegangi kedua tangannya, menahannya untuk tidak pergi.
“Ke mana?”
Charan mengernyit bingung, merasa tidak perlu ditanya. “Ke ruang tamu.”
“Untuk apa?”
“Tidur.”
“Kenapa harus di sana?” Khanin memiringkan kepalanya. “Kau bisa tidur di sini bersamaku, tempat tidurnya cukup untuk dua orang. Lagi pula ini memang kamarmu.”
Ucapan Khanin tidak salah. Tempat tidur di kamar itu berukuran king yang cukup untuk dua orang dan dapat memuat seluruh tubuhnya dalam posisi terlentang. Empuk dan selimutnya hangat—memanggil-manggil Charan untuk segera merebahkan diri. Tapi Charan sungkan, Khanin bukanlah orang biasa atau temannya.
“Itu tidak pantas, Yang Mulia.”
“Hei,” sambar Khanin cepat, “berhentilah bersikap seolah aku majikanmu. Aku tidak terbiasa dengan kehidupan feodal.”
“Tapi—”
“Apa kau memang biasa membantah pangeranmu?”
“Kelihatannya anda mudah terbiasa dengan kehidupan feodal.”
Rahang Khanin mungkin sudah jatuh ke lantai kalau tidak ada daging dan kulit di wajahnya. Meski hanya sepersekian detik, Khanin bersumpah dia melihat Charan memberikan senyum mengejek saat mengatakan hal itu di wajah kanebo keringnya.
Perbedaan antara mimpi dan kenyataan menjadi kentara ketika mimpi itu terus berulang. Lagi-lagi dia ada di sana, ruang kosong tanpa ujung dengan hanya ada dirinya dan mobil rusak karena kecelakaan lalu lintas yang diguyur hujan. Sudah tidak terhitung berapa kali Charan terjebak malam mimpi ini. Namun, meski pun sadar, dia tidak bisa bangun.
Tubuhnya mengecil. Kakinya melangkah dengan berat. Seolah ditahan untuk terus melihat darah ibunya yang menetes di kaca mobil.
“Ibu!”
Tidak ada balasan. Hanya ada gemuruh hujan yang menelan suaranya. Dia menoleh ke sekitar; tidak ada ibunya, tidak ada siapapun yang bisa menolongnya—tentu saja, itu adalah mimpinya. Tapi meski tahu, dia luar biasa takut. Satu-satunya yang bisa dia dengar di tengah deras hujan adalah degup jantungnya yang cepat.
Sampai sesuatu yang hangat terasa membelai pipinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuh. Nyaman. Wangi khas bedak bayi. Sensasi asing itu melenyapkan mimpi buruknya. Membawanya untuk tertidur pulas, lama sekali hingga tidak terasa.
Getaran smartphone di nakas membangunkan Charan. Saat itu tepat pukul enam pagi. Pagi yang sunyi di kamar tidur mendadak ramai dengan degup jantung Charan.
Dia terbangun di dalam dekapan Khanin.
Chapter 6: Teman lama
Chapter Text
Charan dan Khanin tiba di bandara Suvarnabhumi pukul sembilan malam. Begitu melangkah keluar dari gerbang kedatangan, mereka langsung disambut oleh udara hangat dan lembap khas Bangkok, kontras dengan kulit dingin yang sudah terkena AC selama 13 jam perjalanan. Arus manusia yang menyeret koper di bawah langit-langit tinggi melengkung menciptakan gemuruh, sementara di tengah-tengahnya, Charan hanya membawa sebuah ransel hitam dan Khanin dengan tas kecil yang diberikan Thatdanai, berisi paspor dan lencana tua yang pernah dipakai Thatdanai saat bertugas sebagai komandan pasukan pengawal dulu.
Mereka memutuskan untuk menaiki taksi ke stasiun Hua Lamphong untuk pergi ke kota Davin, karena jadwal keberangkatan Airport Rail Link di papan informasi telah berkurang ketika malam. Tapi sebelum itu, wangi rempah yang didominasi rasa asam dan pedas membawa mereka untuk duduk di food court. Keduanya membeli mie sup daging yang antreannya paling sedikit dan duduk berderet di meja.
“Kau yang melindur dan mendekat padaku, bukan aku yang memelukmu duluan.”
“Anda sudah mengatakan itu sepuluh kali selama perjalanan.”
“Itu karena kau hanya ‘iya-iya’ saja!” Khanin mengaduk kuah supnya dengan kasar, membuat dentingan dari sendok dan sumpit, seolah yang ada di dalam mangkuk adalah kepala Charan.
“Lalu saya harus menjawab apa?” tanya Charan dengan wajah tidak peduli sebelum meniup uap panas, lalu menyantap mienya.
“Huh!” Khanin mendengus kesal. Dia lalu memakan mienya, mengunyah sambil menatap Charan dengan tajam.
Khanin lah yang memeluk Charan lebih dulu saat mereka tidur bersama, tapi itu hanya untuk menenangkan Charan yang merintih sambil meremas selimut dengan kencang ketika tidur. Namun, saat bangun, Charan justru bersikap seolah tidak terjadi apapun. Hal itu melukai harga diri Khanin—karena tidakkah Khanin jadi seperti pria gatal yang cari-cari kesempatan memeluk orang lain ketika tidur?!
“Loh?! Phi Ran?!”
Seruan itu membuat Charan dan Khanin menoleh. Seorang pria berambut hitam yang sedikit lebih tinggi dari Khanin dan tampak lebih muda dari Charan, mengenakan jaket denim dan memegang segelas jus jeruk, berdiri di depan meja mereka. Charan menaikkan kedua alisnya.
“Vedish!”
Wajah muram Charan berubah cerah saat melihat pria bernama Vedish itu. Charan segera berdiri, menyambutnya dengan jabat tangan akrab dan mempersilakannya duduk bersama mereka. Yang paling membuat Khanin terbelalak adalah bagaimana mata Charan berbinar dan suaranya terdengar begitu ramah.
“Baru dua tahun aku pindah ke Bangkok, tapi rasanya seperti sudah lama sekali tidak melihatmu!” seru Vedish sambil menarik kursi, lalu duduk di sana. Gelas jus jeruknya dia taruh di meja dengan santai.
Charan yang kembali duduk mengangguk setuju, karena dia pun sama rindunya. Vedish adalah mantan pengawal Assavadevathin di Emmaly yang pindah ke Bangkok bersama keluarganya, juga salah satu teman yang bisa akrab dengannya di Emmaly dulu.
“Apa kau baru pulang liburan, Phi Ran?”
“Begitulah,” jawab Charan bohong dengan enteng, “kau juga?”
Vedish menghela napas. “Tidak,” pria itu menekuk bibirnya, “aku baru pulang dari perjalanan bisnis.”
Charan mendengus geli, melihat wajah Vedish membuatnya teringat kenangan-kenangan konyol, seperti saat dia dan pengawal lainnya taruhan dengan menebak warna baju Thipokbowon tiap pagi karena tidak memiliki kesibukan, dan tebakan Vedish selalu salah. Tidak lama, dia menyadari Khanin yang tidak ikut serta dalam reuni tersebut tengah menatapnya. Charan berdeham.
“Ini Vedish, dulu dia bekerja sebagai pengawal juga di Emmaly.” jelas Charan memperkenalkan Vedish pada Khanin.
“Kau membuatku terdengar biasa-biasa saja, Phi Ran! Padahal aku nyaris hampir bisa saja mungkin jadi wakilmu!” sela Vedish bercanda.
“Diam kau,” Charan mendengus geli, lalu berganti memperkenalkan Khanin, ada jeda sesaat sebelum Charan memperkenalkannya, “ini adikku.”
Charan dan Khanin saling berpandangan, mereka sepaham bahwa identitas Khanin belum bisa diungkapkan sembarangan. Vedish yang melihat gelagat mencurigakan dua pria di depannya mengernyit, ditambah dia tahu dengan jelas kalau Charan adalah anak satu-satunya.
“Adik?” Suara Vedish penuh ragu.
“Adik.” Ulang Charan dengan tegas.
Vedish mengerucutkan mulutnya, lalu kembali tersenyum saat menoleh pada Khanin. “Hei, Nong, siapa namamu?”
“Kenneth.” Jawab Khanin cepat tanpa embel-embel yang tidak perlu.
Vedish mengangguk paham, lalu melipat kedua tangannya di dada. Dia tidak berkomentar apapun. Charan dan Khanin pun kembali melanjutkan makan mereka tanpa membahas lebih lanjut. Namun, sesaat kemudian Vedish membuka mulutnya.
“Kalian pasangan gay, kan?” tebak Vedish membuat Charan tersedak.
Saat Charan memukul-mukul dadanya sendiri sambil terbatuk-batuk, Khanin memutar otak untuk mengendalikan keadaan.
“Ah, ya ampun—ketahuan, deh!” ucap Khanin sambil bersandar di bahu Charan.
Alis Charan langsung mengernyit melihat Khanin yang bergelayut manja dengan suaranya yang berubah centil.
Apa-apaan dia ini?!
“Phi Ran malu mengatakannya karena hubungan kami masih baru.” Khanin tertawa kecil, jarinya memainkan ujung rambutnya seakan malu-malu. Pangeran muda itu mengeluarkan seluruh kemampuan aktingnya dengan meniru salah satu teman gay-nya di London.
Saat mendongak, Khanin mendapati Charan tengah menatapnya dengan alis berkerut kencang. Ekspresi pria itu tidak membantunya untuk mengelabui Vedish. Sebagai bentuk totalitas dalam berakting, Khanin mengecup bibir Charan dengan cepat. Hanya kecupan singkat, bahkan tidak lebih dari sedetik. Tidak berarti apapun untuk Khanin, seremeh saat dia mengecup hamster milik tetangganya dulu. Kontras dengan Khanin, Charan tersentak kaget hingga menjatuhkan sendok dan sumpitnya ke lantai. Bunyi dentingan gaduh di bawah meja membuat para pelanggan lain menoleh pada mereka sesaat.
Charan tidak bergerak, isi kepalanya seperti lambat memproses keadaan. Yang pertama kali membuka mulut justru Vedish.
“Wow! Kalian sudah seserius itu?!” ucap Vedish begitu antusias. Bibirnya tersenyum saat berbicara dan matanya berbinar.
Khanin memiringkan kepalanya sedikit. “Serius?” tanyanya penuh bingung. Menurutnya, tidak ada yang serius dengan sebuah ciuman. Dia pernah mencium beberapa teman kencannya, bahkan pernah berhubungan seks dengan mantan pacarnya, tapi semua itu tidak menunjukkan keseriusan—bukankah pria dewasa muda selalu bersenang-senang?
“Eh?” Vedish menaikkan kedua alisnya, kini dia yang tampak bingung, “apa kau tidak tahu kalau berciuman untuk Emmalian itu—”
“Cukup,” potong Charan, dia berdeham, “sudah saatnya kita pergi, Kenneth.”
Charan tidak ingin memperpanjang obrolan tersebut. Ciuman bagi Emmalian adalah perwujudan dari mengikat janji untuk saling mencintai hingga maut memisahkan—menurut Charan, Khanin tidak perlu mengetahui hal itu agar tidak memperumit hubungan atasan-bawahan mereka kedepannya.
Khanin mengangguk kecil meski tidak mengerti dengan gelagat Charan. Keduanya segera membereskan peralatan makan mereka, lalu beranjak dari food court bersama Vedish.
Mereka pun berpamitan dengan singkat di pintu keluar bandara. Namun, sesaat sebelum langkah mereka terlalu jauh untuk mencari taksi masing-masing, Vedish berbalik.
“Phi Ran,” panggilnya lantang di antara deru mesin mobil dari taksi-taksi yang siap mengambil penumpang, menghentikan langkah Charan dan Khanin. Keduanya pun menoleh bersamaan.
Vedish berdiri tegak, memandang Charan lurus-lurus. Wajahnya menunjukkan keseriusan yang jarang dia tunjukkan. “Aku tidak akan bertanya apapun, tapi aku bukan lagi bawahanmu,” wajah seriusnya perlahan pudar, berganti dengan senyuman yang tulus, “kau bisa meminta bantuanku sebagai teman.”
Charan tersenyum tipis singkat. Dia tahu, Vedish memanglah orang yang peka dan tidak mudah dibohongi, tapi dia juga teman yang baik.
“Terimakasih. Aku akan menghubungimu nanti."
Charan kembali membalikkan badan, Khanin mengikuti di sisinya. Mereka baru saja akan melanjutkan langkah saat seruan Vedish kembali terdengar, kali ini bernada lebih ringan.
“Nong Kenneth!”
Mereka kembali menoleh pada Vedish. Pria itu tersenyum lebar, kedua tangannya berdecak pinggang. “Aku tahu kalian bukan pasangan sungguhan,” ucap Vedish blak-blakan, membuat Khanin terbelalak—tidak percaya aktingnya gagal—dan Charan menggeleng pasrah. “Tapi menurutku, kalian sangat cocok!” lanjut Vedish mengacungkan kedua jempolnya ke udara sambil mengangguk mantap.
Khanin dan Charan saling beradu pandang, untuk pertama kalinya isi pikiran mereka sama; sekalipun bumi meledak dan hanya tersisa mereka, mereka tidak akan memilih satu sama lain menjadi kekasih!
nhunamednyu on Chapter 2 Sun 12 Oct 2025 08:53PM UTC
Comment Actions