Chapter 1: Chapter 1 — Kejujuran Yang Tertahan
Chapter Text
Chapter 1 — Kejujuran Yang Tertahan
Kim Dokja sudah menyiapkan kalimat itu di kepalanya berkali-kali. Ia bahkan menuliskannya di catatan ponsel, menghapus, lalu menulis ulang. “Aku hamil.” Begitu sederhana, hanya dua kata, tapi terasa seperti beban yang menghancurkan seluruh dadanya.
Malam itu, ia duduk di kursi kecil apartemennya, kedua tangan bertumpu pada perutnya yang masih rata. Belum ada tanda apa-apa, belum ada perubahan berarti selain keletihan yang datang lebih cepat dari biasanya. Tapi instingnya tahu. Tubuhnya tahu. Sebagai seorang omega, feromon dalam dirinya berubah — lebih manis, lebih lembut, lebih… penuh.
Jari-jarinya menggenggam erat mug kopi yang sudah dingin. Ia menatap layar ponsel, menunggu notifikasi pesan. Sung Jinwoo berkata akan datang. Katanya ada hal penting yang ingin ia bicarakan.
Hati Dokja berdetak kencang. Ia yakin ini waktu yang tepat. Ia akan mengatakannya. Ia akan jujur. Mungkin Jinwoo akan kaget, mungkin marah, tapi mereka bisa menghadapinya bersama. Bukankah begitu cara pasangan menghadapi dunia?
Pintu berbunyi.
“Masuk saja, tidak dikunci,” seru Dokja, buru-buru merapikan rambutnya.
Jinwoo masuk, tubuhnya tegap, wajahnya seperti biasa: tenang, tak terbaca, tapi selalu memancarkan sesuatu yang menenangkan Dokja. Aroma alpha-nya langsung memenuhi ruang sempit itu, membuat jantung Dokja semakin panik.
“Dokja.” Suaranya dalam, sedikit serak. Ada sesuatu yang berat dalam intonasinya.
Dokja berdiri. “Jinwoo, aku juga punya sesuatu—”
Tapi Jinwoo lebih cepat. “Aku jadi Hunter.”
Kalimat itu menghantam Dokja lebih keras daripada yang ia kira.
“A… apa?”
“Resminya, mulai hari ini. Aku dapat lisensi. Rank-ku mungkin belum tinggi, tapi aku yakin akan cepat naik.” Ada kilatan antusias dalam mata Jinwoo, sesuatu yang jarang Dokja lihat. “Aku… harus fokus pada ini. Dunia Hunter berbahaya. Aku tidak bisa membagi perhatianku. Jadi… aku pikir lebih baik kita—”
Jinwoo berhenti sejenak, menelan ludah, lalu mengucapkannya dengan dingin yang mematikan hati Dokja. “Kita putus.”
Dunia runtuh.
Dokja ingin tertawa, ingin menyangkal, ingin berteriak tidak. Ingin mengatakan bahwa ia sedang mengandung anaknya, bahwa ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya. Kata-kata itu sudah di ujung lidahnya, hanya tinggal keluar. Tapi tatapan Jinwoo begitu pasti, begitu teguh.
Seolah apa pun yang Dokja katakan tidak akan mengubah keputusannya.
“Kenapa… sekarang?” suara Dokja pecah, hampir berbisik.
“Karena kalau tidak sekarang, aku tidak akan pernah bisa melepaskanmu,” jawab Jinwoo tanpa menatap mata Dokja. “Aku tidak ingin menyeretmu ke dunia yang berbahaya. Dunia Hunter bukan tempat untuk Omega sepertimu.”
Omega sepertimu.
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau.
Dokja tersenyum tipis, meski matanya memanas. “Kalau itu maumu, baiklah.”
Jinwoo membuka mulutnya, seakan ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi akhirnya hanya mengangguk pelan dan pergi. Aroma alpha-nya perlahan memudar dari ruangan, meninggalkan keheningan yang memekakkan telinga.
Pintu tertutup.
Dan Dokja jatuh terduduk, menggenggam perutnya dengan tangan gemetar.
“Seharusnya aku bilang,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Seharusnya aku…”
Tapi sudah terlambat.
Keesokan harinya, ia duduk di café kecil bersama dua orang yang selalu ada di sisinya: Yoo Joonghyuk dan Han Sooyoung.
Sooyoung menatapnya lekat-lekat, ekspresi setengah kesal setengah prihatin. “Kau benar-benar tidak bilang padanya?”
Dokja menggeleng. “Dia ingin putus. Apa gunanya aku bilang? Itu hanya akan mengikatnya lebih kuat pada sesuatu yang tidak dia mau.”
“Bodoh.” Sooyoung menggebrak meja, membuat kopi mereka bergetar. “Kau bahkan lebih bodoh dari yang kukira, Dokja. Itu anaknya! Kau pikir dia tidak berhak tahu?”
Joonghyuk, seperti biasa, hanya menatap diam-diam. Namun tatapannya tajam, menusuk, seperti sedang menguliti Dokja. “Kau terlalu lembek. Sung Jinwoo bukan orang biasa. Jika dia tahu, dia tidak akan membiarkanmu pergi.”
“Itulah masalahnya.” Dokja menatap kosong ke cangkir kopinya. “Kalau aku bilang, dia pasti akan merasa bersalah. Dia mungkin akan memaksakan diri untuk tetap bersamaku. Aku tidak mau cintanya lahir dari rasa tanggung jawab.”
Sooyoung mendengus. “Kau selalu punya alasan untuk menyiksa dirimu sendiri.”
Joonghyuk akhirnya bersuara. “Kalau begitu, kau harus pergi.”
Dokja menoleh. “Apa?”
“Pergi sejauh mungkin. Jangan biarkan dia menemukannya. Kalau tidak, semua keputusanmu hari ini tidak ada artinya. Kau pikir bisa bersembunyi dari seorang Hunter? Dari seorang Alpha seperti dia? Tidak. Kau harus lenyap dari hidupnya sebelum dia sadar ada sesuatu yang berbeda.”
Kata-kata itu berat, tapi logis. Dan itulah masalahnya—Joonghyuk selalu logis.
Sooyoung menghela napas panjang, lalu bersandar. “Sialan, tapi dia benar. Kau tidak bisa tinggal di sini, Dokja. Jinwoo akan menemukanmu cepat atau lambat. Dan kalau dia tahu kau hamil? Kau tamat.”
Dokja menutup matanya, menahan gemetar di ujung jarinya.
“Pergi kemana?” bisiknya.
“Tidak peduli. Kota kecil, negara lain, dimensi lain kalau perlu,” ujar Sooyoung, setengah bercanda tapi penuh kesungguhan. “Asal jangan di sini. Asal jangan dekat dengannya.”
Hening panjang menyelimuti meja. Hanya suara denting sendok dan hiruk-pikuk pengunjung lain yang terdengar.
Akhirnya, Dokja membuka mata. Ada ketegasan yang perlahan muncul dalam dirinya, meski hatinya remuk.
“Baik. Aku akan pergi.”
Malam itu, Dokja kembali ke apartemennya, memandang sekeliling ruangan kecil yang penuh dengan kenangan. Foto di meja, selimut di sofa, semua masih menyimpan aroma samar Jinwoo.
Ia berjalan ke jendela, menatap lampu-lampu kota di bawah. Tangannya kembali menyentuh perutnya yang masih datar.
“Maaf,” bisiknya lirih. “Maaf kalau hidupmu harus dimulai dengan kehilangan.”
Air mata jatuh, satu per satu.
Tapi dalam isak itu, ada tekad yang lahir. Ia akan melindungi anak ini, meski harus meninggalkan segalanya. Ia akan menghilang, sebelum Sung Jinwoo pernah tahu.
Dan dengan keputusan itu, jalan hidupnya bergeser ke arah yang tak pernah ia bayangkan.
Chapter 2: Chapter 2 — Dunia Kecil yang Kulindungi
Chapter Text
Chapter 2 — Dunia Kecil yang Kulindungi
Hidup setelah kepergian selalu terasa aneh. Seolah-olah satu bagian penting dari diri Dokja dicabut, lalu ia dipaksa untuk tetap berjalan. Tapi dunia tidak berhenti hanya karena satu hati hancur, dan waktu tidak menunggu siapa pun.
Tiga tahun berlalu.
Kim Dokja kini tinggal di sebuah kota kecil di pinggiran Korea. Tempat di mana gate jarang muncul, dan kehidupan berjalan lebih lambat. Tidak ada Hunter S-Rank yang berlalu-lalang, tidak ada sorotan kamera, tidak ada Sung Jinwoo. Hanya orang-orang biasa, dengan kehidupan biasa.
Dan di tengah kehidupan sederhana itu, ada satu cahaya yang menjaga Dokja agar tetap bernapas: Kim Jinseol.
“Appa, cepat! Aku telat nanti!”
Suara kecil itu memenuhi ruang apartemen sempit mereka. Dokja bergegas, sambil membawa roti bakar yang gosong di ujungnya. “Kau tidak akan telat. Bus sekolah belum datang.”
Tapi Jinseol sudah berdiri di depan pintu, tas ransel hampir lebih besar dari tubuh mungilnya. Anak itu berusia tiga tahun, tapi karena kecerdasannya yang mencolok, ia lebih cepat masuk prasekolah. Rambut hitamnya jatuh acak, matanya—mata obsidian yang sama persis dengan Sung Jinwoo—menatap Dokja penuh antusias.
Setiap kali melihat mata itu, dada Dokja bergetar. Ada rasa sakit yang tidak pernah benar-benar hilang, tapi juga kebanggaan yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Appa gosong lagi rotinya.” Jinseol mengernyit, menunjuk roti yang ada di tangan Dokja.
Dokja terkekeh, setengah pasrah. “Kalau begitu kau makan punyaku, aku makan punyamu.”
“Tidak mau!” Jinseol tertawa kecil, lalu menukar piring dengan cepat, menyodorkan roti yang lebih bagus ke tangan ayahnya. “Appa harus makan yang enak.”
Hati Dokja mencair. Ia sering berpikir, kalau bukan karena anak ini, mungkin ia sudah hancur total.
Hari-hari berjalan dengan rutinitas sederhana: mengantar Jinseol ke sekolah, bekerja paruh waktu di toko buku kecil, menjemputnya lagi, lalu makan malam bersama. Malam-malam mereka biasanya dihabiskan dengan membaca buku anak-anak, atau Jinseol merengek minta cerita sebelum tidur.
Tapi ada kalanya, dunia luar menyusup masuk.
Suatu malam, ketika Dokja sedang menidurkan Jinseol, TV yang dibiarkan menyala menayangkan berita besar:
“S-Rank Hunter Sung Jinwoo berhasil menaklukkan dungeon kelas nasional—”
Seketika tubuh Dokja menegang. Matanya terpaku pada layar, di mana sosok tinggi dengan mata obsidian yang sama seperti anaknya berdiri gagah, dikelilingi sorakan.
“Appa, siapa itu?” suara polos Jinseol terdengar dari balik selimut.
Dokja buru-buru mematikan TV. “Hanya Hunter. Kau tidak perlu tahu.”
“Tapi… matanya mirip aku.” Jinseol menguap, lalu memeluk boneka beruangnya. “Apa dia saudaraku?”
Pertanyaan itu menusuk seperti belati.
Dokja mengusap kepala kecil itu lembut. “Bukan, Seol-ah. Dia… hanya orang jauh.”
Anak itu mengangguk mengantuk, menerima jawaban seadanya, lalu terlelap.
Tapi Dokja tidak bisa tidur malam itu. Ia duduk lama di tepi ranjang, menatap wajah damai anaknya.
Berapa lama aku bisa menyembunyikan ini darinya? pikirnya. Berapa lama sampai dunia memaksaku untuk menghadapi kenyataan?
Jinseol tumbuh cepat, dengan kecerdasan yang membuat guru-gurunya kagum. Ia suka membaca seperti ayahnya, tapi juga punya ketangguhan fisik yang tak biasa untuk anak seusianya. Kadang Dokja takut—takut bahwa suatu hari sisi “Hunter” dari darah Sung Jinwoo akan bangkit dalam dirinya.
Namun untuk sekarang, Jinseol hanyalah anak kecil yang penuh rasa ingin tahu.
Suatu sore, ketika mereka berjalan pulang melewati taman, Jinseol tiba-tiba bertanya: “Appa, kenapa aku tidak punya omma?”
Dokja terdiam.
Ia sudah menyiapkan banyak jawaban untuk pertanyaan ini, tapi tidak ada satu pun yang terdengar benar. Akhirnya ia berjongkok, menatap mata hitam anaknya.
“Karena kau hanya punya aku. Dan itu cukup, kan?”
Jinseol mengerutkan kening kecilnya, lalu tiba-tiba memeluk leher Dokja erat-erat. “Iya. Appa sudah cukup.”
Hati Dokja mencair sekaligus hancur dalam satu tarikan napas.
Namun takdir tidak bisa selamanya dihindari.
Beberapa minggu kemudian, ketika Dokja menjemput Jinseol di sekolah, ia merasa sesuatu yang aneh. Udara seolah lebih berat. Aroma alpha samar tercium, begitu kuat sampai membuat insting omeganya menegang.
Ia menoleh.
Dan di seberang pagar sekolah, ada sosok tinggi berjas hitam, berdiri seperti bayangan. Mata obsidian itu menyapu kerumunan—dan berhenti tepat pada dirinya.
Waktu seakan berhenti.
Udara sore itu seharusnya biasa saja. Anak-anak keluar dari gerbang sekolah dengan teriakan riang, para orang tua menunggu sambil bercakap ringan, dan angin musim gugur berhembus membawa aroma daun kering.
Namun bagi Kim Dokja, dunia seakan berhenti berputar.
Matanya terpaku pada sosok di seberang pagar. Seorang pria berdiri tegap, mengenakan jas hitam sederhana yang justru menonjolkan tubuh tinggi dan bahunya yang lebar. Rambut hitamnya berkilau tertimpa sinar matahari sore, dan mata obsidian itu—mata yang tak pernah Dokja lupakan—menatap lurus ke arahnya.
Sung Jinwoo.
Dada Dokja serasa dihantam palu. Nafasnya terputus, insting omeganya langsung bereaksi: tubuh menegang, aroma feromon samar muncul tanpa ia sadari. Ia buru-buru menahan napas, mencoba menekan insting itu. Tidak. Ini tidak boleh terjadi di sini.
“Appa!” Suara riang Jinseol menariknya kembali ke kenyataan. Bocah itu berlari keluar dari gerbang, tas kecilnya berguncang-guncang. “Aku dapat bintang emas hari ini!”
Dokja segera jongkok, membuka tangan untuk menyambut putranya. “Benarkah? Appa bangga sekali.” Suaranya bergetar, tapi ia memaksa senyum. Ia tidak boleh menunjukkan ketakutan. Tidak di depan anaknya.
Namun Jinseol tiba-tiba menoleh ke arah sosok yang berdiri diam di seberang pagar. Anak itu mengernyit, lalu berbisik, “Appa… orang itu matanya mirip aku.”
Dokja membeku.
Sebelum ia bisa menarik anaknya menjauh, suara yang begitu dikenalnya akhirnya terdengar—dalam, berat, penuh emosi yang ditahan bertahun-tahun.
“…Dokja.”
Satu kata itu saja sudah cukup membuat seluruh tubuhnya gemetar.
Ia berdiri, mendekap Jinseol erat di pelukannya, seolah-olah dunia bisa merenggut anak itu kapan saja. “Kita pulang, Seol-ah.”
Ia melangkah cepat, melewati kerumunan orang tua lain. Tapi langkah berat menyusul dari belakang. Aroma alpha yang pekat segera mengisi udara, menusuk indera omeganya hingga membuat lututnya lemah. Feromon Jinwoo tidak berubah—kuat, dominan, tapi sekarang dibalut ketegangan yang hampir putus.
“Berhenti.” Suara itu nyaris bergemuruh.
Dokja menunduk, menutup wajahnya dengan rambut hitam yang jatuh ke depan. Jangan. Jangan menoleh. Kalau aku menoleh, aku tidak akan bisa pergi lagi.
Namun tangan besar itu menahan lengannya. Hangat, kokoh, dan bergetar. “Tolong… lihat aku.”
Dokja menggigil. Perlahan ia menoleh, dan bertemu mata obsidian yang sama—mata yang dulu ia cintai, mata yang juga menghancurkan dirinya.
“Kenapa kau di sini?” suara Jinwoo parau. “Kenapa kau… menghilang?”
Dokja membuka mulut, ingin berkata lepaskan aku. Tapi sebelum kata itu keluar, Jinseol menatap penasaran pada pria asing itu. Anak itu mengedipkan mata besar yang persis sama, lalu berkata polos, “Appa, siapa orang ini? Kenapa dia mirip aku?”
Sunyi.
Wajah Jinwoo menegang. Pupilsnya menyempit tajam, napasnya tertahan. Ia menatap anak kecil itu—mata, hidung, garis rahang mungil—semuanya adalah refleksi dirinya. Aroma samar omega yang menempel pada anak itu identik dengan aroma Dokja. Tidak ada penyangkalan yang mungkin.
“…Dia anakku.” Suara Jinwoo bergetar, bukan tanya, tapi pernyataan.
Darah Dokja terasa membeku. “Jangan…”
“Tiga tahun…” Jinwoo berbisik, menatap lekat ke mata Dokja. “Tiga tahun kau pergi. Dan kau membawa anakku…”
Dokja memeluk Jinseol lebih erat, tubuhnya bergetar. “Kau tidak mengerti. Aku harus—”
“Aku berhak tahu, Dokja!” Nada Jinwoo meledak, membuat beberapa orang tua di sekitar menoleh heran. Segera aroma feromon alpha tumpah deras, menguasai udara, menekan semua yang ada di sekitarnya.
Dokja merasakan tubuhnya melemah, lututnya goyah. Insting omega di dalam dirinya berteriak ingin tunduk. Tapi ia melawan. Dengan sisa tenaga, ia menatap balik penuh luka.
“Kau meninggalkanku dulu, Jinwoo. Kau memilih karirmu, bukan aku. Apa aku harus menyerahkan hidupku padamu hanya karena instingmu mengatakan begitu?”
Hening.
Kata-kata itu menampar Jinwoo lebih keras daripada apa pun. Napasnya memburu, tapi ia tidak bisa menyangkal. Karena benar—dialah yang dulu mengatakan kata-kata itu. Dialah yang pergi.
“Appa, aku takut.” Suara kecil Jinseol membuat dunia kembali bergerak.
Dokja membelai kepala anaknya, berusaha menenangkan. “Tidak apa-apa, Seol-ah. Kita pulang.”
Ia menatap Jinwoo sekali lagi—tatapan penuh peringatan dan luka yang belum sembuh. “Jangan ikuti kami.”
Lalu ia melangkah pergi, cepat, menghilang di antara kerumunan, meninggalkan Jinwoo yang berdiri membeku dengan dunia runtuh di sekitarnya.
Sung Jinwoo, penguasa bayangan, Hunter terkuat di dunia—untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar kalah.
Chapter 3: Chapter 3 — Lembaran Kisah Lama Yang Terungkap
Chapter Text
Chapter 3 : Lembaran Kisah Lama Yang Terungkap
Udara sore di depan sekolah itu seharusnya terasa biasa. Anak-anak keluar dari gerbang sambil berlari, beberapa langsung berlari ke pelukan orang tua mereka, beberapa lainnya bercanda dengan teman sekelas. Suara riuh, langkah-langkah kecil, dan teriakan penuh tawa seharusnya menjadi latar belakang yang hangat. Namun, bagi Sung Jinwoo, dunia tiba-tiba menyempit menjadi satu titik.
Di sana. Seorang pria yang begitu ia kenal, begitu lama ia pikir hanya tinggal di dalam ingatan. Kim Dokja.
Dan di sampingnya, seorang anak kecil dengan mata hitam berkilau, senyum yang terlalu mirip dirinya sendiri.
Jinwoo berdiri terpaku. Naluri alpha di tubuhnya mengguncang, seolah setiap serat otot dan kelenjar feromon menjerit. Aroma itu—samar, nyaris tertutup oleh keramaian, tapi tetap saja Jinwoo mengenalinya. Omega yang pernah menjadi seluruh dunianya.
“...Dokja.”
Nama itu lolos dari bibirnya, lirih, hampir seperti doa yang tak sengaja pecah.
Kim Dokja menoleh. Sejenak, mata mereka bertemu. Hitam pekat itu masih sama, penuh rahasia dan luka yang disembunyikan. Namun sebelum Jinwoo bisa mengulurkan tangan, Dokja membalikkan badan, seolah berusaha kabur. Insting bertahan hidup yang dulu ia kagumi dari pria itu masih sama—selalu memilih mundur, selalu memilih menyembunyikan diri.
Tapi Jinwoo tidak akan membiarkannya kali ini.
Flashback 1: Hari Perpisahan
Bertahun-tahun lalu, Jinwoo masih hunter kelas rendah. E-rank yang dicemooh, yang bahkan kesulitan menyambung hidup. Namun hari itu berbeda. Ia baru saja menerima kabar bahwa dirinya resmi terdaftar untuk raid bersama guild besar. Sebuah awal untuk perjalanan baru.
Dan ia, dengan naifnya, berpikir itu adalah kemenangan.
“Dokja.”
Ia menatap pria yang duduk di sofa kecil, menunduk pada buku yang entah keberapa. Bau kopi murahan dan lampu neon tua memenuhi ruang kecil apartemen itu. “Aku… aku berhasil. Mereka menerimaku.”
Dokja mengangkat wajahnya perlahan. Senyum tipis itu muncul, tulus tapi lelah.
“Itu bagus, Jinwoo-ya. Aku tahu kau bisa.”
Namun kata-kata berikutnya seperti batu yang ia lemparkan pada dirinya sendiri.
“Aku pikir… kita harus berhenti di sini.”
Ia melihat tubuh Dokja menegang, lalu diam. Tidak ada teriakan, tidak ada pertanyaan. Hanya keheningan yang menekan dadanya.
“Kenapa?”
Suara itu keluar pelan, terlalu tenang.
“Aku harus fokus. Dunia hunter berbahaya. Aku tidak ingin menyeretmu… Aku tidak ingin mengikatmu pada seorang alpha yang bahkan belum tahu apakah dia bisa bertahan hidup.”
Kebohongan setengah matang. Kebenaran setengah hati. Dan Dokja hanya menunduk lagi, jari-jarinya menggenggam halaman buku terlalu erat hingga kusut.
“Kalau itu yang kau mau.”
Itu saja. Tidak ada air mata. Tidak ada permintaan untuk bertahan. Hanya persetujuan sunyi yang memecah dirinya jauh lebih kejam dari apa pun.
Flashback 2: Setelah Kepergian
Hari-hari berikutnya seharusnya penuh semangat. Karir hunter-nya melesat bak roket. Dari raid kecil, ke dungeon C-rank, B-rank, hingga akhirnya dunia mengenalnya sebagai Hunter terkuat. Gerbang demi gerbang ditutup dengan tangannya. Dunia berlutut di hadapannya.
Namun setiap kali ia kembali ke apartemen kosong, rasa hampa itu menganga. Dokja tidak pernah kembali.
Ia mencoba mencari, diam-diam, di sela kesibukan. Menanyakan pada teman-teman lama, menelusuri catatan sewa apartemen, bahkan sekali ia mendatangi Sooyoung dan Joonghyuk—dua orang yang paling dekat dengan Dokja. Mereka hanya memberinya tatapan dingin.
“Biarkan dia pergi, Jinwoo-ssi. Dia sudah cukup menderita.”
Menderita?
Hati Jinwoo mengerut. Ia ingin berteriak, ingin menuntut. Tapi ia hanya bisa kembali ke raid, menenggelamkan diri dalam darah monster, berharap rasa sakit fisik bisa menutupi luka yang semakin melebar di dalam dirinya.
Namun malam-malam sepi selalu sama. Bayangan Dokja di sofa. Senyum tipis itu. Aroma feromon samar yang menenangkan setiap kali dunia terasa terlalu berat. Dan kenyataan bahwa ia sendiri yang menghancurkannya.
Kembali ke Masa Kini
Kini, bertahun-tahun kemudian, di depan sekolah sederhana, semua itu kembali menghantamnya sekaligus.
Jinwoo melihat Dokja—bukan lagi bayangan, bukan lagi kenangan. Nyata. Hidup. Dengan mata yang sama, tapi lebih dingin, lebih berhati-hati.
Dan anak kecil itu… Jinseol, ia mendengar guru memanggilnya. Anak kecil dengan wajah bundar, senyum cerah, tapi garis mata yang sama persis dengannya. Naluri alpha-nya menjerit, feromonnya berdesir tak terkendali. Itu darahnya. Itu darah mereka.
“Dokja.”
Suaranya lebih keras kali ini, membuat beberapa orang tua menoleh. Dokja berhenti, tubuhnya tegang.
Jinwoo melangkah maju. Satu, dua, tiga langkah, hingga jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa meter. Ia bisa melihat kilatan panik di mata Dokja. Bisa mencium aroma feromon yang Dokja coba tahan mati-matian.
“Berapa lama kau berniat bersembunyi?”
Dokja terdiam. Bibirnya bergetar, tapi tidak ada kata yang keluar.
“Anak itu… dia anakku, bukan?”
Pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan. Itu adalah tuntutan, kepastian yang tubuhnya sendiri sudah tahu jawabannya. Setiap insting alpha, setiap tetes darahnya menjeritkan kebenaran yang tak bisa dibantah.
Dokja menunduk, genggamannya pada tas kecil semakin erat.
“Jinwoo… Jangan lakukan ini di sini.”
Tapi Jinwoo tidak peduli. Bertahun-tahun ia hidup dengan penyesalan. Bertahun-tahun ia mencari bayangan yang hilang. Dan sekarang, kebenaran berdiri tepat di depannya.
“Jawab aku, Dokja. Dia… anak kita?”
Udara sore itu mendadak terasa menyesakkan. Nama yang keluar dari bibir Sung Jinwoo seperti rantai, menjerat leher Dokja erat-erat.
“Dia… anak kita?”
Seketika dunia Dokja terguncang. Ia tahu hari ini mungkin akan datang—bahwa suatu saat, takdir akan menuntunnya kembali bertemu dengan pria itu. Namun tidak seperti ini. Tidak di depan sekolah anaknya.
Tangannya meremas erat tali tas. Ia mencoba menarik napas, menahan aroma feromon yang nyaris bocor. Naluri omeganya panik, berteriak untuk melindungi anaknya.
“Jangan lakukan ini di sini.”
Namun Jinwoo, seperti yang dulu ia kenal, keras kepala.
“Aku sudah kehilanganmu sekali. Aku tidak akan membiarkanmu menghilang lagi.”
Hatinya berdegup kencang, terlalu keras. Kecewa, bingung, marah—semua bercampur. Dan saat ia hendak mundur, dunia memberi mereka masalah lain.
Retakan terdengar di langit. Udara berubah. Getaran halus menyapu tanah. Jeritan pertama terdengar.
“D-dungeon break!”
Dokja langsung menoleh mencari Jinseol. Anak itu berdiri terpaku, bingung. Monster pertama mulai merangkak keluar dari celah keunguan di udara.
“Jinseol!”
Ia berlari, feromonnya pecah dalam panik. Namun sebuah tangan besar menariknya. Jinwoo.
“Aku akan urus ini. Bawa dia menjauh.”
Dokja menepis.
“Aku tidak butuh perintahmu!”
Dokja menepis, tapi tatapannya tetap pada langit yang koyak. Monster pertama sudah mulai merangkak keluar—makhluk berbentuk serigala berlapis tulang, rahangnya meneteskan ludah asam. Anak-anak menjerit, guru-guru berlari panik mencoba mengatur murid.
Namun Jinwoo menatapnya, hanya sekilas, dan di mata itu Dokja melihat dua hal sekaligus : rasa bersalah yang belum selesai… dan tekad tak tergoyahkan untuk melindungi.
“Dokja.” Suaranya kini rendah, nyaris seperti dulu saat mereka masih saling berbisik di apartemen kecil itu.
“Aku tidak akan membiarkanmu kehilangan apa pun lagi.”
Sebelum Dokja bisa merespons, aura hitam yang sangat dikenalnya mulai meluap dari tubuh Jinwoo. Bayangan bergolak di tanah, memanjang seperti tangan-tangan kegelapan yang siap mencabik-cabik.
Monster pertama mengaum.
Tanah bergetar.
Orang-orang menjerit.
Dan Kim Dokja, dengan Jinseol di ujung pandangan matanya, tahu satu hal:
Dunia tidak akan membiarkan ia dan Sung Jinwoo menyelesaikan masa lalu mereka dengan mudah.
Chapter 4: Chapter 4 – Pertemuan Yang Diakhiri Dengan Perpisahan
Chapter Text
Chapter 4 – Pertemuan Yang Diakhiri Dengan Perpisahan
Langit pecah oleh retakan hitam. Suara kaca raksasa runtuh bergema, dan dari celah berkilat ungu, seekor serigala tulang menjulurkan tubuhnya. Rahangnya besar, penuh gigi yang dilapisi cairan asam yang menetes dan melelehkan aspal di bawahnya. Anak-anak menjerit, guru-guru panik menyeret murid mereka menjauh.
Namun bagi Sung Jinwoo, hanya ada satu fokus: melindungi Kim Dokja dan anak kecil yang berdiri ketakutan beberapa meter dari gerbang.
Bayangan hitam mengalir dari kakinya, menyebar cepat seperti tinta di air. Tangannya terangkat, dan aura hitam yang khas miliknya meluap, pekat dan menekan.
“Bergegaslah pergi!” teriaknya pada para orang tua yang masih terpaku. “Aku akan menahan mereka!”
Serigala tulang pertama mengaum, melompat dengan kecepatan mengerikan. Angin dari cakarannya mengoyak udara. Jinwoo tak bergeming.
“Bangkit.”
Bayangan di tanah bergetar, lalu dua ksatria hitam menjulang dari dalamnya—tentara bayangan setia yang selalu menunggu perintahnya. Mereka melompat ke depan, pedang dan tombak menyambut rahang serigala.
Bunyi logam beradu tulang menggema. Serigala itu meraung kesakitan saat tombak menembus dadanya. Namun dua makhluk lain segera menyusul dari portal: seekor laba-laba raksasa dengan tubuh berlapis karapas, dan burung bangkai bersayap api hitam.
“Damn,” Jinwoo menggeram. Energi dungeon break ini tidak biasa.
Satu kilatan kecil di pojok matanya—Jinseol. Anak itu berdiri membeku, matanya melebar, terlalu ketakutan untuk bergerak. Dan serigala tulang yang tadi tertahan berhasil melepaskan diri, kini mengarah langsung padanya.
“Jinseol!”
Tubuh Jinwoo bergerak lebih cepat dari pikirannya. Ia berlari, bayangan hitam menyelimuti kakinya, mempercepat gerakannya di atas tanah yang retak. Dalam sekejap, ia sudah tiba di depan gadis kecil itu.
Cakar serigala hampir menebas, tapi Jinwoo mengangkat tangannya—dan dengan satu serangan brutal, Shadow Dagger menusuk tepat ke tengkorak monster. Retakan terdengar, tulang pecah, tubuh raksasa itu jatuh tepat di depan Jinseol.
Anak itu menjerit, terhuyung ke belakang. Jinwoo tanpa pikir panjang menariknya ke dalam pelukan. Tubuh mungil itu bergetar, napas tersengal.
“Shh, tidak apa-apa. Kau aman bersamaku.” Suaranya keluar lirih, lebih lembut dari yang ia maksudkan. Tapi saat memeluk Jinseol, ada sesuatu di dalam dadanya yang bergetar—naluri yang tak bisa ia bantah. Ini… anakku.
Namun dunia tidak memberinya waktu untuk menikmati kesadaran itu. Suara retakan lain bergema, kali ini lebih dalam. Dari portal muncul sosok berbeda—tinggi, kurus, dengan tubuh dilapisi tulang dan mata merah menyala. Boss dungeon.
“Cukup besar untuk level B… tidak, A-rank?” Jinwoo menyipitkan mata. Aura monster itu menekan, membuat udara di sekitar terasa berat.
Dokja berteriak dari kejauhan, “Jinwoo! Hati-hati!”
Ia menoleh sekilas—dan justru itulah kesalahannya.
Bayangan monster itu bergetar. Tiba-tiba, dua tangan gelap melesat keluar, meraih tubuh Kim Dokja sebelum siapa pun bisa bereaksi.
“Dokja!!”
Suara Jinwoo pecah, namun terlambat. Dokja ditarik ke arah portal, tubuhnya terjerat cakar bayangan makhluk itu. Ia berusaha melawan, menendang, menggeliat, tapi kekuatan monster jauh lebih besar.
“Lepaskan aku!” teriak Dokja, panik, tangannya terulur seolah mencari seseorang untuk menggenggam.
Jinwoo melompat, berusaha menembus jarak. Bayangan hitam di bawahnya meledak, ksatria-ksatrianya menyerbu ke arah portal. Namun dalam sekejap… celah dungeon menutup.
Suara kaca yang retak menyatu kembali. Udara bergetar, lalu hening.
Kim Dokja hilang.
Jinwoo berdiri membeku, napas terengah. Bayangannya bergetar liar, marah, haus darah. Tangannya masih terulur di udara, kosong.
“Paman…” Suara kecil itu membuatnya menoleh. Jinseol masih ada di pelukannya, tubuhnya gemetar hebat, wajahnya basah oleh air mata. “Appa.. Appa.. dibawa pergi…”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada cakar monster mana pun.
Jinwoo merapatkan pelukannya pada anak kecil itu. Matanya tajam, penuh amarah yang ditahan dengan susah payah.
“Aku akan membawanya kembali,” bisiknya, hampir seperti sumpah. “Dengarkan aku, Jinseol. Aku akan bawa ayahmu pulang, apa pun yang terjadi.”
Bayangan di tanah bergolak, seperti menjawab tekad tuannya. Sung Jinwoo menatap ke langit yang kini kembali tenang, namun di dalam dirinya badai sudah pecah.
Kim Dokja ada di dalam dungeon itu. Dan ia, Sung Jinwoo, tidak akan berhenti sampai ia merobek dunia untuk merebutnya kembali.
Salju turun deras, menutup dunia dengan keheningan yang menusuk. Udara dingin menggigit setiap inci kulit, menusuk hingga ke tulang. Kim Dokja terjatuh keras di atas tanah putih itu, tubuhnya masih bergetar karena teleportasi paksa yang ia alami.
Napasnya terengah, uap putih keluar dari bibirnya. Tangannya yang gemetar menyentuh permukaan salju, dinginnya merayap cepat, menempel pada kulit yang basah oleh keringat.
“...Di mana aku?” suara Dokja parau, hampir hilang ditelan badai.
Ia mencoba berdiri, namun tubuhnya goyah. Perjuangan melawan dungeon tadi, ketakutan saat Jinseol hampir direnggut, dan rasa panik saat portal menelannya, semua masih membekas. Ia hanya bisa menahan dada yang naik turun, mencoba mengatur napas.
Hutan di sekelilingnya sunyi, hanya desir angin yang menjerit. Pepohonan pinus menjulang hitam, pucuknya tertutup es, seperti bayangan raksasa yang mengawasi.
Dokja mengeratkan mantel tipisnya—tak ada gunanya, kain itu tidak mampu melawan hawa dingin yang menusuk. Dia berjalan tertatih, meninggalkan jejak kaki rapuh di atas salju.
Namun rasa dingin bukan satu-satunya hal yang ia rasakan. Aura… ya, ada sesuatu yang lain. Aura monster.
Ia berhenti, tubuhnya menegang. Dari balik pepohonan, suara retakan ranting terdengar, diikuti dengan derap langkah berat. Bayangan besar mulai muncul, mata berkilat merah dalam kegelapan. Seekor Ice Troll keluar dari balik kabut, tubuhnya setinggi dua kali manusia, kulit biru pucat dengan otot bergelombang, gigi taring besar meneteskan liur.
“Hhh—” Dokja mundur, panik. Ia bukan Hunter. Ia hanyalah seorang Omega yang terseret ke dunia penuh predator ini.
Troll itu mengaum, getarannya membuat dada Dokja bergetar.
Dokja berlari, kakinya tenggelam ke dalam salju, napasnya memburu. Tapi troll itu lebih cepat. Derap langkah berat mengejarnya, setiap hentakan membuat tanah bergetar.
Saat ia hampir tersusul, ketika bau busuk napas monster itu sudah terasa di tengkuknya—
Suara peluru melesat. BOOM.
Kepala troll itu meledak dalam sekejap, darah biru memercik ke salju putih. Tubuh raksasa itu tumbang keras, mengguncang tanah.
Dokja terpaku, matanya membelalak.
Di balik kabut salju, seorang pria berjalan keluar. Langkahnya tenang, seakan kedinginan dan ancaman tadi bukan apa-apa. Pria itu menjulang tinggi, tubuhnya terbungkus mantel hitam tebal, rambut pirang pucat yang hampir putih tertiup angin, berkilau kontras dengan langit kelabu. Mata birunya—dingin, tajam, berkilat seperti es yang tak pernah mencair.
Senyum tipis terukir di bibirnya, indah namun berbahaya.
“Sepertinya aku datang tepat waktu,” ucapnya dalam bahasa Rusia, lalu dengan lancar beralih ke bahasa Inggris yang beraksen berat. “Kau hampir menjadi makan malam.”
Kim Dokja berdiri terpaku, tubuhnya gemetar entah karena dingin atau karena tatapan pria itu.
“…Siapa kau?” suara Dokja bergetar, keluar lebih sebagai bisikan.
Pria itu mendekat, langkahnya mantap. Aura kekuatan menyelimuti setiap gerakannya—S Rank. Tak ada keraguan.
“Nama orang baik biasanya dipertanyakan setelah diselamatkan,” jawabnya ringan, hampir menggoda. Ia menunduk sedikit, matanya menatap Dokja dengan rasa ingin tahu yang nyaris predatoris. “Zhenya.”
Nama itu jatuh di udara seperti vonis.
Zhenya berdiri dekat, lebih tinggi hampir satu kepala dari Dokja. Tatapannya tidak sekadar menilai, tapi menelanjangi—menyelami rahasia yang Dokja simpan rapat. Omega yang baru saja kehilangan pijakan, tubuh yang masih menyimpan aroma ketakutan, sekaligus kelembutan samar yang terlalu mudah mengundang perhatian Alpha manapun.
Dokja menunduk, berusaha menjauh, tapi Zhenya menangkap pergelangan tangannya. Sentuhannya dingin tapi kuat, seolah tangan baja terbungkus sarung kulit.
“Kau bukan Hunter,” Zhenya menyimpulkan cepat. “Tapi kau berada di tengah dungeon break. Menarik sekali.”
“Aku… hanya terjebak,” Dokja berusaha menarik tangannya, tapi cengkeraman itu tidak bergeming.
Zhenya tersenyum, tatapan matanya seperti kilatan pisau. “Terjebak… dan sendirian? Bagaimana mungkin sesuatu yang rapuh seperti kau bisa bertahan sejauh ini?”
Dokja menggertakkan giginya, rasa takut bercampur dengan amarah kecil. “Lepaskan aku.”
Ada hening sejenak. Lalu Zhenya benar-benar melepaskan tangannya, mengangkat kedua telapak tangannya dengan sikap teatrikal, seakan mengatakan baiklah, aku tidak menggigit—belum.
“Tenang, malyshka,” katanya, suara rendahnya bergetar seperti dengungan lembut. “Aku tidak berniat menyakitimu. Kau tampak terlalu… menarik untuk sekadar dibiarkan mati.”
Hati Dokja berdegup keras. Kata-kata itu bukan sekadar rayuan. Ada sesuatu dalam tatapan biru Zhenya—sebuah keinginan untuk memiliki.
Salju kembali berjatuhan di antara mereka, menutup jejak darah troll yang masih hangat.
Zhenya mengangkat bahunya, lalu menoleh pada tubuh monster yang sudah mati. “Hutan ini berbahaya. Jika kau tetap di sini, kau tidak akan bertahan lama. Ikut denganku, atau mati. Pilihannya sederhana.”
Dokja menggenggam kain tipis mantelnya. Ia membenci kenyataan bahwa pria asing ini benar. Ia lelah, dingin, lapar, dan yang paling penting—sendirian.
Tapi hatinya memberontak. Jinwoo.
Nama itu menyesak dalam dadanya. Bagaimana jika Jinwoo sedang mencarinya sekarang? Bagaimana jika ia meninggalkan jejak yang salah?
Namun, tatapan Zhenya kembali menancap, menunggu jawabannya. Dan Dokja tahu, setidaknya untuk saat ini, dia tidak punya pilihan lain.
“…Baik. Aku ikut.”
Senyum Zhenya melebar, seperti predator yang puas atas buruannya. Ia meraih mantel tebalnya, lalu tanpa banyak bicara, meletakkannya di bahu Dokja. Aroma dingin bercampur logam dan samar wangi tajam memenuhi indera Dokja, membuatnya menggigil dengan cara yang berbeda.
“Pintar,” Zhenya berbisik, dekat di telinga. “Kau akan baik-baik saja denganku.”
Chapter 5: Chapter 5 — Bayangan Dibalik Salju
Chapter Text
Chapter 5 — Bayangan di Balik Salju
Angin berdesir di antara pepohonan, membawa partikel salju yang menari liar. Jejak kaki dua orang manusia terpampang jelas di permukaan putih itu: satu mantap, panjang, penuh percaya diri; yang lain ragu, pendek, dan berulang kali terseret seolah pemiliknya terpaksa berjalan.
Kim Dokja menunduk, matanya hanya berani menatap tanah. Mantel tebal yang disampirkan Zhenya di bahunya terasa terlalu berat, seakan bukan sekadar kain, melainkan beban kehadiran pria asing yang kini memimpin langkahnya.
“Jangan tertinggal, malyshka,” suara Zhenya meluncur ringan, namun ada tepi tajam di sana—perintah terselubung dalam nada manis.
Dokja mengejarnya dengan langkah cepat. “Aku… bukan anak kecil,” gumamnya.
Zhenya menoleh, senyum miring menghiasi bibir pucatnya. Mata biru itu berkilat, menatap Dokja seakan ia menemukan hiburan dalam setiap penolakan kecil. “Kau? Bukan anak kecil? Kau gemetar sejak pertama kali aku lihat. Kau bahkan hampir jadi makan malam troll.” Ia mendekat, jarak di antara mereka terpangkas dalam sekejap. “Kau rapuh. Itu fakta. Tapi… rapuh tidak selalu buruk.”
Napas Dokja tercekat ketika Zhenya menyentuh dagunya dengan ujung sarung tangan, mengangkat wajahnya agar mata mereka bertemu. Tatapan itu seperti kutukan—dingin, dalam, namun menggoda dengan cara yang membuat Dokja ingin sekaligus enggan melepaskan diri.
“Rapuh,” Zhenya berbisik, “membuat orang seperti aku ingin melindungi. Atau menghancurkan. Tergantung suasana hati.”
Dokja buru-buru menepis tangannya, menunduk lagi. Jantungnya berdegup kencang, rasa takut menusuk lebih dalam dibanding hawa dingin. Tapi di balik ketakutan itu, ada sesuatu yang samar… sesuatu yang tak ingin ia akui.
Tidak. Aku tidak boleh goyah.
Bayangan Jinwoo muncul di benaknya, jelas seakan pria itu baru saja berdiri di depannya. Tatapan hitam yang selalu keras namun menyimpan kelembutan tersembunyi. Suara rendah yang dulu membuatnya merasa aman. Dan—Jinseol. Senyum mungil anaknya, tawa kecil yang mengisi hari-harinya.
Dokja menggigit bibirnya hingga hampir berdarah. Aku harus kembali. Untuk mereka.
Namun suara Zhenya kembali memotong pikirannya. “Kau tahu, kau menarik perhatianku bukan hanya karena wajahmu, atau fakta bahwa kau muncul entah dari mana. Ada sesuatu dalam dirimu…” ia berhenti sejenak, matanya menyapu Dokja dari atas ke bawah, “…sesuatu yang berteriak ‘istimewa’. Tapi kau menyembunyikannya dengan begitu putus asa.”
Dokja merapatkan mantel, berusaha tidak menanggapi.
Zhenya tertawa pelan, suara rendah yang meluncur seperti gesekan biola, menegaskan sisi teatrikalnya. “Kau seperti buku dengan sampul polos. Tapi aku—aku suka membaca. Aku bisa membalik halamanmu satu per satu.”
Mereka melangkah lebih jauh, salju menebal, medan makin berat. Dokja mulai terengah, tubuhnya bukan dibuat untuk perjalanan keras seperti ini. Ia terhuyung, hampir jatuh.
Refleks, tangan Zhenya terulur, menahan tubuhnya. “Hati-hati, malyshka.”
Dokja menepis, meski napasnya memburu. “Aku bisa sendiri.”
“Bisa?” Zhenya mengangkat alis, lalu sengaja mencondongkan tubuhnya ke dekat telinga Dokja, suaranya merendah seperti bisikan dosa. “Atau kau hanya keras kepala karena takut jatuh terlalu dalam pada seseorang lagi?”
Kata-kata itu menusuk. Dokja menegang, wajahnya memanas meski hawa sekitar beku.
Jinwoo. Lagi-lagi nama itu menghantam dadanya. Luka lama yang belum sembuh, ditambah rindu dan kecewa yang tak pernah benar-benar padam.
Zhenya memperhatikan perubahan ekspresi itu, senyumnya melebar. “Ah… jadi memang ada seseorang.” Tatapannya berkilat nakal, penuh provokasi. “Itu menjelaskan segalanya. Tatapanmu, cara kau menahan dirimu dariku. Kau masih terikat pada bayangan orang lain.”
Dokja diam, menggenggam erat mantel di dadanya.
Zhenya melangkah lebih dekat lagi, sehingga bahu mereka hampir bersentuhan. “Baguslah. Bayangan bisa dihapus. Dan aku orang yang tepat untuk melakukannya.”
Suasana hening sesaat, hanya suara salju yang retak di bawah kaki.
Namun dalam hati, Dokja tahu: Zhenya berbahaya. Tidak seperti Jinwoo, yang cintanya keras tapi penuh kehangatan tersembunyi. Zhenya… seperti es yang berkilau indah tapi bisa membekukan hingga mati.
Tetap saja, ada bagian kecil dalam dirinya yang goyah. Bagian yang lapar akan pengakuan, perlindungan, dan tatapan seseorang yang tidak bisa ia tolak begitu saja.
Zhenya menatapnya sejenak, lalu tertawa ringan, seakan membaca pikirannya. “Jangan takut, Dokja.” Ia menyebut nama itu begitu saja, entah bagaimana ia bisa tahu. “Aku tidak akan memaksa. Bukan hari ini. Kau akan datang sendiri, cepat atau lambat. Semua orang selalu melakukannya.”
Kata-kata itu menggema di kepala Dokja sepanjang perjalanan.
Markas Hunter Rusia
Malam mulai turun. Langit berubah kelam, aurora samar berkilau di kejauhan, membentang hijau kebiruan di balik tirai salju. Di hadapan mereka, sebuah cahaya mulai terlihat—lampu-lampu kamp militer, markas Hunter Rusia.
Dokja menarik napas lega. Meski jiwanya masih bergetar oleh kehadiran Zhenya, setidaknya ia tidak lagi terjebak sendirian di hutan mematikan itu.
Tapi ia tahu, masalah baru akan dimulai.
Sebab Zhenya bukan hanya penyelamat. Ia adalah badai yang siap menelan siapa pun yang cukup bodoh untuk berdiri terlalu dekat.
Markas Hunter Rusia berdiri megah di tengah padang bersalju, dikelilingi pagar kawat berduri dan menara penjaga. Lampu sorot menembus kabut putih, menyilaukan mata. Udara di sini lebih dingin, bukan hanya karena iklim Siberia, tapi juga karena aura para Hunter yang keluar masuk dengan senjata berkilau di pinggang.
Kim Dokja menelan ludah ketika langkahnya menapaki lantai keras markas. Napas semua orang mengepul putih, suara bahasa Rusia terdengar dari segala arah—kasar, tegas, seperti dentuman palu.
Namun begitu mereka melihat pria di sampingnya, suasana berubah drastis.
Zhenya berjalan di depan, mantel hitamnya berkibar setiap kali angin malam menerpa. Seolah tanpa perlu bicara, setiap Hunter yang berpapasan langsung menunduk atau menyingkir. Bahkan para tentara berseragam rapi yang menjaga gerbang berhenti sejenak, menegakkan tubuh dengan tegang, lalu memberi hormat.
“Kapitan Zhenya,” ucap salah satu komandan dengan suara bergetar.
Zhenya tidak berhenti, hanya mengangkat alis sambil tersenyum tipis. “Nyaris lucu bagaimana semua orang membeku saat aku lewat.” Ia menoleh sebentar pada Dokja, seakan ini pertunjukan khusus untuknya. “Kau lihat? Beginilah caranya dunia tunduk pada orang yang tahu bagaimana memegang kekuatan.”
Dokja menunduk, tidak nyaman dengan tatapan puluhan pasang mata yang kini ikut meneliti dirinya.
Kenapa mereka menatapku…?
Tentu saja, jawabannya jelas. Ia berjalan berdampingan dengan Zhenya, seseorang yang bahkan hanya namanya saja bisa membuat Hunter kelas-A mengurungkan langkah. Seakan kehadirannya di samping pria itu menjadikannya hal yang harus diperhatikan, dipertanyakan, bahkan dihakimi.
“Siapa itu?” bisik salah satu Hunter muda dalam bahasa Rusia, suaranya cukup keras hingga Dokja menangkap maksudnya.
“Seorang civil?” balas yang lain, bingung. “Bagaimana bisa dia bersama Zhenya?”
Bisik-bisik mulai menyebar, udara yang sudah dingin kini semakin menusuk.
Zhenya menyadari semuanya, dan justru tersenyum semakin lebar. Ia berhenti tiba-tiba, membuat Dokja ikut terhenti di sisinya.
Mata biru itu berkilat liar saat ia menatap kerumunan. “Kalian penasaran?” suaranya meluncur keras, bergema di aula markas, membuat semua pembicaraan berhenti seketika.
Dokja menegang, rasa panik menjalari tubuhnya. Apa yang dia lakukan?
Zhenya mengulurkan tangan, dengan teatrikal meraih bahu Dokja lalu menariknya ke dekat tubuhnya. Satu gerakan sederhana, tapi cukup untuk menciptakan gelombang keheningan.
“Dia bersamaku.” Zhenya mengucapkan kalimat itu dalam bahasa Rusia, nada suaranya dingin tapi penuh otoritas. “Itu saja yang perlu kalian tahu.”
Udara serasa membeku. Para Hunter saling berpandangan, tak berani bertanya lebih jauh.
Dokja merasakan seluruh darahnya naik ke wajah. Ia ingin memprotes, ingin mendorong Zhenya menjauh. Tapi tatapan tajam puluhan orang di sekeliling membuat lidahnya kelu.
Zhenya menunduk sedikit, bibirnya hampir menyentuh telinga Dokja. “Lihat? Dengan satu kalimat, tidak ada yang berani menyentuhmu.” Bisikannya terdengar seperti racun manis. “Kau seharusnya berterima kasih.”
Dokja menggertakkan gigi. “Aku tidak pernah meminta ini.”
“Oh, malyshka…” Zhenya menatapnya dengan mata biru yang berkilat nakal. “Kau belum paham. Di dunia ini, perlindungan jarang datang karena permintaan. Itu hadiah. Hadiah yang bisa berharga… atau mematikan.”
Mereka kembali berjalan, tapi atmosfer di sekeliling tak lagi sama. Setiap Hunter yang mereka lewati menunduk, membiarkan jalan terbuka, seolah Zhenya membawa sesuatu yang sakral di sisinya.
Kim Dokja berjalan kaku, setiap langkahnya berat oleh tatapan dan bisik-bisik. Dalam hati, ia berteriak: Aku bukan milik siapa pun. Aku harus kembali ke Jinseol. Kembali ke Jinwoo.
Namun semakin ia menolak, semakin jelas klaim yang Zhenya tanamkan di depan semua orang: Dokja adalah milik Zhenya.
Dan itu hanyalah awal.
Chapter 6: Chapter 6 — Di Bawah Sayap Sang Serigala Putih
Chapter Text
Chapter 6 — Di Bawah Sayap Sang Serigala Putih
(Sudut Pandang Jinwoo)
Jinwoo melangkah cepat menyusuri lorong markas Hunter Association Seoul. Gaung langkahnya memantul di dinding beton, berat dan terukur, seolah menahan sesuatu yang siap meledak. Wajahnya tetap dingin, namun jemarinya mengepal rapat. Dokja menghilang. Lagi.
Kali ini bukan sekadar kebiasaan untuk menyendiri atau menghilang ke perpustakaan usang yang selalu menjadi pelariannya. Tidak ada catatan, tidak ada pesan, bahkan tidak ada jejak yang tertinggal.
Bayangan-bayangan yang setia padanya telah menyebar, menelusuri sudut kota dengan kecepatan makhluk buas. Namun semakin jauh mereka mencari, semakin jelas kebenaran yang pahit: Dokja tidak ada di Seoul.
Ini bukan kebetulan… ada tangan lain yang menariknya.
Napasnya terasa berat. Ingatan akan percakapan terakhir mereka terlintas—tentang buku, tentang skenario-skenario yang hanya Dokja pahami. Saat itu Jinwoo hanya menertawakannya, tapi kini setiap kata terasa seperti kode yang terlewat.
Salah satu bayangan kembali, berlutut di hadapannya. Suaranya menggema di dalam kepala:
— “Tuan... aku menemukan jejak aura Dokja. Tapi... bukan di sini. Lokasinya asing. Dingin... seperti utara jauh.”
Jinwoo membuka mata lebar. “Utara jauh…” gumamnya. “Rusia?”
Kemarahan bercampur kegelisahan. Ia menoleh pada Cha Hae-In, yang sedari tadi mengikuti langkahnya dalam diam. Tatapan wanita itu tajam, membaca ekspresi yang jarang muncul di wajah Jinwoo—panik, cemas, protektif.
“Dokja diculik?” tanya Hae-In, suaranya tegas.
Jinwoo tidak langsung menjawab. Ia mengangkat tangan, memanggil bayangan-bayangan baru dari pusaran hitam. Puluhan makhluk kegelapan berlutut, menunggu perintah.
“Cari siapa pun yang berani membawa Kim Dokja dariku,” ucapnya pelan, namun dingin dan mematikan. “Jika perlu... kuacak-acak Moskow sekalipun.”
Dentuman samar terdengar ketika salah satu bayangan lenyap menjadi asap, membawa perintah itu ke seluruh penjuru dunia.
Di balik nada perintahnya yang dingin, ada sesuatu yang lebih rapuh—bayangan ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. Jinwoo menutup mata sejenak, memanggil ingatan akan wajah Dokja: senyum miringnya, tatapan yang selalu seolah tahu akhir cerita, dan suara datarnya yang menyimpan rahasia yang tak pernah sepenuhnya terungkap.
Sebuah tusukan halus terasa di dadanya. Bukan sekadar kehilangan rekan, bukan hanya saksi. Ini kehilangan seseorang yang, entah sejak kapan, telah menjadi penting.
“Kim Dokja...” bisiknya. “Tunggu aku.”
Bayangan hitam mulai menelan ruangan, siap membawa sang raja kegelapan melintasi lautan demi menjemput klaimnya.
(Sudut Pandang Dokja)
Markas Hunter Rusia di Moskow malam itu tidak pernah benar-benar sunyi. Dari jendela kamar yang luas dan dingin, Dokja menatap lampu-lampu kota yang meredup di balik salju yang jatuh perlahan. Ruangan itu terasa asing—terlalu mewah, terlalu steril, seolah lebih cocok menjadi etalase kekuasaan daripada tempat tinggal.
Ia duduk di sofa kulit hitam, mengenakan kemeja hangat yang entah sejak kapan telah disiapkan di lemari. Di seberangnya, Zhenya bersandar santai dengan segelas vodka di tangan, aroma alkohol bercampur wangi cologne yang menusuk namun memabukkan.
“Bagaimana? Tidak buruk, kan? Markas ini,” ucap Zhenya ringan, namun matanya tajam, meneliti seperti pemburu menilai mangsanya.
Dokja menatap keluar jendela. “Aku tidak terbiasa dengan tempat seperti ini.”
Zhenya tersenyum miring. “Manusia bisa terbiasa pada apa pun... selama ada yang menjaganya tetap hidup.”
Kata-kata itu terdengar santai, namun bagi Dokja terasa seperti jerat halus. Ia mengenal nada semacam itu—klaim, ancaman, dan janji yang menyatu dalam satu kalimat.
Zhenya berdiri, melangkah mendekat. Ia berhenti di belakang sofa, satu tangan bertumpu pada sandaran, membuat jarak mereka menipis. “Aku sudah lama memperhatikanmu, Dokja,” bisiknya. “Kau berbeda dari hunter lain. Kau tahu banyak hal, tapi memilih diam. Itu... menarik.”
Dokja menahan napas agar tetap stabil. Ia tahu, ketakutan hanya akan memuaskan lawannya.
Zhenya tiba-tiba membuka pintu kamar. Para hunter yang berjaga di koridor segera berdiri tegak. Dengan suara yang dibuat bergema di sepanjang lorong, ia berkata lantang,
“Mulai malam ini, Kim Dokja adalah tamu pribadiku. Tidak ada seorang pun yang boleh mendekat tanpa izinku.”
Kata tamu pribadi mungkin terdengar manis bagi orang awam, namun di tempat ini artinya jelas: klaim kepemilikan.
Para hunter hanya bertukar pandang tanpa berani membantah. Zhenya menutup pintu, kembali mendekat, dan menaruh gelasnya di meja. Wajahnya kini hanya sejengkal dari Dokja, mata birunya menyala seperti es.
“Sekarang semua orang tahu,” bisiknya, “kau berada di bawah perlindunganku.”
Dokja menatap balik tanpa bergeming. “Perlindungan... atau kurungan?”
Zhenya terkekeh pelan. “Itu sama saja. Kau akan selamat... selama tetap di sisiku.”
Suara tawa rendahnya bercampur dengan hening yang menekan. Salju di luar terus jatuh, seolah waktu di luar dinding itu berjalan lebih lambat. Namun jauh di dalam hatinya, Dokja tahu: orang seperti Zhenya takkan pernah berhenti pada kata perlindungan. Cepat atau lambat, seseorang akan datang... untuk merebut kembali apa yang kini berusaha ia klaim.
Chapter 7: Chapter 7 - Bayangan Melawan Es
Chapter Text
Chapter 7 — Bayangan Melawan Es
Salju tipis turun di halaman Asosiasi Hunter Rusia, bangunan megah dengan pilar marmer abu-abu dan bendera yang berkibar kaku di tiupan angin musim dingin. Sung Jinwoo turun dari mobil hitam yang disediakan kedutaan Korea. Aura dinginnya Moskow seolah kalah oleh hawa yang lebih dingin dari tubuhnya.
Hunter-hunter lokal yang berjaga menegakkan tubuh ketika merasakan tekanan samar seorang S-Rank yang datang tanpa basa-basi. Nama Sung Jinwoo bukanlah nama asing—Shadow Monarch, sosok yang bahkan gosipnya sudah lama beredar di Rusia.
“Hunter Sung Jinwoo-ssi,” sambut seorang pejabat Rusia dengan senyum kaku, “boleh saya tahu tujuan Anda datang ke Moskow secara tiba-tiba?”
Jinwoo menatap dingin. “Aku mencari seseorang. Seorang hunter yang menghilang saat dungeon break di Seoul. Informasi terakhir... mengarah ke negara ini.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Beberapa hunter Rusia saling bertukar pandang—mereka tahu siapa yang dimaksud.
Lalu tawa ringan terdengar. Berat, teatrikal, dan menggoda.
“Ah... jadi kau benar-benar datang jauh-jauh ke sini, Sung Jinwoo.”
Dari balik tangga marmer, muncul sosok tinggi dengan rambut pirang pucat dan mata biru berkilat licik. Jas hitamnya kontras dengan senyum sinis di wajahnya. Zhenya, S-Rank Rusia—salah satu hunter terkuat di Eropa.
“Hunter Korea yang melegenda... mencari kekasih lamanya?” Zhenya mendekat dengan langkah elegan, tangannya masuk ke saku, ekspresinya seperti singa yang sedang mempermainkan mangsa. “Sayangnya, tamu yang kau cari... sekarang berada di bawah perlindunganku.”
Aura Jinwoo langsung berubah. Udara yang dingin menjadi menekan, membuat kaca jendela bergetar. Beberapa hunter Rusia mundur dengan wajah tegang.
“...Kembalikan dia padaku,” suara Jinwoo rendah, bergetar menahan amarah.
Zhenya terkekeh, menundukkan kepala sedikit, menantang. “Kau pikir aku akan menyerahkan sesuatu yang begitu berharga? Kau terlambat, Jinwoo. Sekarang semua orang di markas ini tahu—Kim Dokja adalah tamu pribadiku.”
Kata-kata itu seperti minyak disiramkan ke api. Bayangan hitam menyebar dari kaki Jinwoo, membentuk tentakel siap menyerang.
Zhenya tidak gentar. Tubuhnya bergetar halus, lalu cahaya biru es menyelimuti tangannya, membentuk tombak kristal. Aura dingin menusuk tulang, membuat dinding baja retak halus.
Pertarungan pecah seketika.
Bayangan Jinwoo meluncur, pedang hitam terbentuk dari kegelapan, sementara Zhenya menahan dengan tombak es yang pecah berkilauan. Ledakan energi memecah lantai marmer. Para hunter Rusia terpaksa lari ke sisi ruangan, tak ada yang berani melerai.
Zhenya bergerak lincah, setiap gerakan seperti tarian. Ia melemparkan tombak es, menciptakan hujan pecahan kristal. Jinwoo menepisnya dengan bayangan, lalu melesat, pedangnya hampir menebas bahu lawan.
Mereka saling serang dengan kecepatan mata manusia biasa tak bisa ikuti. Setiap benturan menghasilkan gelombang energi, menghancurkan pilar, memecahkan kaca, udara dipenuhi kabut salju bercampur bayangan.
Sampai akhirnya—
“Cukup!”
Suara yang tidak asing bergema di ruangan berantakan itu. Kedua pria berhenti hampir bersamaan.
Di ambang pintu besar, dengan wajah pucat diterangi lampu, Kim Dokja berdiri. Matanya melebar, napas tercekat.
“...Kalian...” suaranya bergetar, antara terkejut dan kecewa. “Apa yang kalian lakukan?”
Jinwoo membeku. Pedang bayangan masih di tangan, tapi tatapannya hanya pada Dokja—sosok yang selama ini ia cari mati-matian.
Zhenya justru tersenyum tipis. Ia mengangkat bahu santai, menatap Jinwoo dengan tatapan licik penuh tantangan.
“Oh? Lihat siapa yang datang. Sepertinya... tamu kita sudah memutuskan siapa yang akan ia hampiri lebih dulu.”
Tatapan Dokja bergeser antara keduanya. Ke Jinwoo—alpha yang dulu meninggalkannya tapi kini mencarinya dengan putus asa. Ke Zhenya—alpha asing yang mengklaimnya di tanah yang bukan rumahnya.
Salju terus turun di luar jendela, seolah dunia sendiri menahan napas menunggu pilihan Dokja.
Situasi markas masih berantakan. Pecahan es berkilauan di lantai, bayangan bergerak liar sebelum akhirnya Jinwoo tarik kembali. Tapi baginya, semua itu hanya latar. Yang benar-benar nyata hanyalah tatapan Kim Dokja.
Jinwoo maju selangkah, pedang bayangan menghilang. Suaranya rendah, namun gemetar oleh emosi yang tak bisa lagi ia tekan.
“Dokja... pulanglah bersamaku. Ke Korea.”
Dokja terdiam. Bahunya naik-turun, wajahnya sulit dibaca. Ketika ia bicara, suaranya lirih. “Aku tahu... Bagaimana dengan Jinseol di sana?”
Nama itu menusuk dada Jinwoo seperti belati. Jinseol—anak mereka. Anak yang Dokja rawat sendirian selama ini.
Jinwoo mengulurkan tangan, seakan ingin meraih. “Aku membawanya ke rumahku, menitipkannya pada Cha Hae-In. Pulanglah, Jinseol merindukanmu. Kumohon, biarkan aku menebus kesalahanku...”
Hening panjang. Lalu tawa ringan menyela.
“Heh... begitu rupanya.” Zhenya bersandar pada pilar retak, senyum licik masih melekat meski tatapannya dingin. “Jadi kau memilih untuk kembali...”
Dokja menunduk, tidak menyangkal.
Untuk sesaat, Jinwoo bersiap jika Zhenya menolak. Tapi Zhenya hanya tertawa lagi—entah lebih menyakitkan atau menakutkan.
“Baiklah.” Ia menepuk tangannya sekali, suara keras menggema di ruangan hening. “Aku bukan pria yang memaksa... setidaknya tidak hari ini. Pergilah.”
Jinwoo menatap curiga, namun tidak ada perlawanan. Dokja menghela napas lega.
Yang tak mereka tahu: di balik senyum licin itu, roda rencana baru sudah berputar di kepala Zhenya. Korea, ya? Lebih menarik daripada Moskow.
Besok Pagi — Pesawat Menuju Korea
Pesawat jet pribadi Asosiasi Rusia meluncur di landasan. Kabinnya mewah, kursi kulit empuk berjajar hanya beberapa baris.
Dokja duduk di kursi tengah, tubuh kaku. Di sebelah kirinya, dekat jendela, Jinwoo. Di sebelah kanannya... kosong.
Awalnya.
Lalu, tepat sebelum pintu kabin ditutup, seseorang masuk dengan langkah tenang penuh percaya diri. Mantel panjang hitam, rambut pirang berkilau, mata biru menyimpan senyum licin.
“Permisi...” suara itu ringan, seolah ia hanya naik bus biasa. “Kursi ini kosong, kan?”
Dokja menoleh, mata melebar. “...Zhenya?”
Jinwoo menegang, hampir bangkit. “Kau—”
Zhenya menepuk bahu pramugari yang mencoba menahannya, lalu duduk di kursi kanan dekat jendela, menyilangkan kaki santai. “Tenang saja. Moskow akan tetap baik-baik saja tanpa aku sehari dua hari. Lagipula...” ia menoleh, tatapannya lurus pada Dokja, lalu bergeser singkat ke Jinwoo, “mana mungkin aku membiarkan calonku bepergian jauh tanpa penjaga?”
Dokja menunduk cepat, wajah memanas. Jinwoo mengepalkan tangan, aura gelap bergetar samar, tapi ruangan pesawat terlalu sempit untuk konfrontasi.
Pramugari bingung, namun jelas tak punya kuasa menolak seorang S-Rank Rusia. Pintu pun ditutup, mesin pesawat berderu, dan mereka bertiga terjebak dalam satu baris kursi.
Suasana menjadi aneh.
Jinwoo mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah hanya untuk Dokja. “Aku tidak tahu kenapa dia ikut, tapi jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu... atau Jinseol.”
Dokja menggenggam ujung selimut di pangkuannya, hatinya berdebar keras. Ia ingin percaya—tapi bayangan masa lalu dan keberadaan Zhenya membuat pikirannya kalut.
Sementara itu, Zhenya hanya bersandar, tersenyum puas, lalu menutup mata seolah tidur. “Ah... ini akan jadi penerbangan yang menyenangkan,” gumamnya pelan, cukup keras untuk keduanya dengar.
Pesawat melaju menembus awan, membawa mereka bertiga ke arah yang sama... tapi dengan hati yang jelas tidak berada di tempat yang sama.
SammyDoe on Chapter 1 Sat 20 Sep 2025 02:30AM UTC
Comment Actions
Guwonie_Rhae on Chapter 3 Tue 30 Sep 2025 05:30PM UTC
Comment Actions
MomeTales on Chapter 3 Fri 03 Oct 2025 04:24PM UTC
Comment Actions
Yo_its_me_10 on Chapter 4 Sun 28 Sep 2025 04:00PM UTC
Comment Actions
Guwonie_Rhae on Chapter 4 Tue 30 Sep 2025 05:47PM UTC
Comment Actions
armescribe (armesalgu) on Chapter 5 Thu 18 Sep 2025 06:40PM UTC
Comment Actions
SammyDoe on Chapter 5 Sat 20 Sep 2025 02:29AM UTC
Comment Actions
SilverWolves108 on Chapter 5 Sat 20 Sep 2025 03:31PM UTC
Comment Actions
MikuMelga on Chapter 5 Sat 27 Sep 2025 09:19PM UTC
Comment Actions
Yo_its_me_10 on Chapter 7 Mon 29 Sep 2025 03:17AM UTC
Comment Actions