Actions

Work Header

no matter how many times i tried to block it, the noises were still there.

Summary:

ia harus menang. untuk melindungi orang terkasihnya, sang bintang jatuh yang bersinar menerangi hidupnya.

———

title from TEMPLATE by Hoshimachi Suisei

Notes:

um, halo.
quick warning, fic ini agak dark
please enjoy (?) :>

anw aku milih lagu TEMPLATE soalnya itu lagu tentang idol culture, dan ada teori mengenai ALNST adalah simbolisasi dari idol culture, jadi ya haha funnie aku akan mencampur keduanya//heh

(See the end of the work for more notes.)

Work Text:

Suara bising itu hendak menenggelamkannya.

Ivan menggenggam mikrofonnya erat-erat. Keringat membasahi pelipis; inilah momen yang menentukan masa depannya. Masa depan keduanya. Ia tak boleh gagal, pun tak boleh mengecewakan pemiliknya. Semuanya, dengarkanlah nyanyian ini, yang akan terlalu dalam menyayat hati!

Meski tampangnya netral, emosinya bergejolak. Kala panggung itu dinaikkan bersama suara mekanik yang mengiringi, ia melirik ke arah lawannya di sebelah kiri.

Perempuan itu kini begitu gugup pula, bila tangan yang meremas roknya ialah pertanda. Tangan yang sama dengan yang dahulunya menggenggam orang tersayangnya, tak lebih dari angin lalu, kedua insan tersebut. Sekilas, rasa puas menguasai hati, namun Ivan tak lama kemudian menyingkirkannya.

Ivan tak mau semuanya berakhir di sini. Tak ingin kejadian malam itu terulang, kala para meteor menjadi latar drama menyedihkan berjudulkan hidupnya.

Ia harus menang. Untuk melindungi orang terkasihnya, sang bintang jatuh yang bersinar menerangi hidupnya.

Nada piano nan lirih bergema, dan ia bernyanyi.

***

"Masih jauh?"

"Sebentar lagi sampai, kok."

Till menggerutu di gendongan Ivan. Keduanya kini tengah mendaki bukit di salah satu planet tempat transit Ivan untuk penampilan berikutnya. Setelah mendapatkan izin dari sang pemilik, ia membawa Till pergi untuk menghabiskan malam di bawah pohon rindang atas bukit.

Sesekali, si surai abu memelintir poni Ivan. Pasti dia bosan hanya digendong di punggungnya dari tadi. Tapi apa boleh buat? Mana mungkin Ivan membiarkannya berjalan.

"Bosen, ah." Till menenggelamkan wajahnya di tengkuk Ivan. "Nyanyiin sesuatu dong, biar nggak sunyi begini."

"Bilang saja kamu ingin mendengarkan suaraku."

"Dih, kegeeran."

Jeweran ringan di telinga Ivan membuatnya tertawa. Setelah tangan Till kembali berada di pundaknya, ia mulai mendendangkan lagu yang sangat keduanya kenal. Sebuah lagu dari masa lalu, dari tempat keduanya pertama bertemu.

"...Black Sorrow? Kenapa milih itu?"

Sejenak, Ivan terdiam. Langkahnya pun terhenti. Ia memandangi kota alien yang berada jauh di bawah sana. Gemerlap lampu itu bagaikan bintang yang berceceran dan menari di kelopak matanya. Ivan ganti memandang Till.

Ia tersenyum kala cahaya itu terpantulkan di kedua mata hijau kekasihnya pula.

"Hm, aku nggak tahu juga," ucap Ivan, kembali melangkahkan kaki membelah rumput. Kaki kanan, lalu kaki kiri, terus saja bergantian, demi menjaga keseimbangan. "Mungkin... karena lagu itu mengingatkanku padamu?"

Perjalanan menuju atas bukit itu kemudian diisi kesunyian. Till yang sebelumnya mengeluh terus karena merasa bosan, sekarang membisu total. Terkadang, Ivan harus mengeceknya agar yakin ia tak keliru malah membawa boneka tak bernyawa.

"...Hey, Ivan?"

"Hm?"

"Aku... masih belum bisa melupakan malam itu."

Till diturunkan oleh Ivan di depan pohon. Ia menundukkan kepala kala Ivan duduk di sebelahnya. Tangan kanan Ivan menggenggam tangan kiri Till, sementara kedua ekspresi mereka tak bertemu.

Sama seperti malam itu, ketika Ivan tak melihat wajah penuh keraguan Till, begitupun dengan Till yang tak menyaksikan detik-detik sekujur tubuh Ivan disiram keputusasaan yang kelam.

Tapi, kali ini, Ivan tak akan membiarkan itu terjadi. Tangannya menyentuh dagu Till, dan kala kekasihnya itu tak kunjung berpaling, ia pelan-pelan memutar arah pandangnya.

Wajah Till sekarang diwarnai penyesalan. "Maaf," ucapnya yang keseribu kali.

Itu ialah kata yang paling ingin Ivan dengar. Sebuah remedi untuk luka di hatinya yang menganga sejak diri mereka masih lugu dan menganggap cerita ini bisa memiliki akhir yang bahagia. Pada akhirnya, yang tersisa adalah dirinya seorang, dengan angin nostalgia dan kesendirian menerpa pipi.

"Tidak apa-apa," Ivan mencoba tersenyum pada sosok di hadapannya, tak mau menyadari bahwa ia hanyalah oasis dalam gurun tanpa ujung, "yang penting kan sekarang kita bisa bersama."

Till tampak hendak mengangguk, namun sifatnya yang membangkang pun membuat dirinya berusaha tak memperlihatkan emosi sesungguhnya. Ia hanya mengangkat bahu. Akan tetapi, kemudian, ia bersender di pundak Ivan. Kedua insan itu mendongak, menyaksikan ratusan bintang jatuh mulai mewarnai langit.

Di sana adalah planet yang menyajikan pemandangan paling indah. Saking cantiknya, ketika Ivan melirik ke kanan, topeng yang biasa dikenakan Till runtuh. Ia kini memandang cahaya yang berenang-renang di langit itu dengan mata yang berbinar sama terangnya.

Mulutnya sedikit terbuka, dan itu membuat Ivan tertawa kecil. Rasanya seperti mundur bertahun-tahun ke belakang, ketika keduanya masih berwujud anak kecil dengan baju putih lusuh.

"Jangan mangap gitu, nanti ada lalat masuk."

Setelah Ivan menutup mulutnya, Till melemparkan tatapan tajam. "Hmph! Emangnya di planet ini ada lalat?"

"Ya siapa tahu...."

Till mengubah posisinya. Ia membungkuk, berbalik badan, lalu membaringkan kepala di pangkuan Ivan. Tangannya masih terkadang memelintir poni Ivan; kebiasaan yang entah sejak kapan terbentuk.

"Kenapa kamu suka mainin poniku, sih?"

"Nggak tahu. Lucu aja." Till mengembalikan tangan ke sisinya. Atensinya kembali fokus pada bintang-bintang di langit. Jarinya menunjuk ke atas sana, "Bintang itu seperti kamu."

Ivan ikut mendongakkan kepala, "Yang mana?"

"Yang bersinar paling terang itu loh."

Till tersenyum, lalu perlahan menutup mata. Wajar, kantung matanya begitu terlihat. Ivan tersenyum simpul sembari menata rambutnya yang berantakan. Beberapa helai rambut abu ia kumpulkan dan selipkan di belakang telinga.

"Soalnya," gumam Till, kala Ivan menyerah menata rambutnya karena akhirnya kembali ke tempat semula, "kamu itu 'bintang' paling terang yang pernah kutemui."

Sebuah kalimat yang rasanya tak akan pernah mau Till ucapkan ketika subjeknya adalah Ivan. Meski begitu, malam ini, mimpi-mimpi akan menjadi kenyataan walau cuma sepersekian detik.

Termasuk ketika Ivan bersukacita dan mempertemukan kedua bibir mereka.

Till membalasnya.

Ia harus menang. Untuk mencapai akhir bahagia yang ia inginkan. Bila tak ada jalan untuk menggapainya, biarlah ia menulisnya dengan cara tersendiri.

Membuat definisi lain dari 'happy ending'.

***

Sekali lagi, keduanya bermandikan lampu panggung nan meriah.

Ivan bernyanyi sembari menggenggam mikrofonnya. Kakinya berayun dari satu tempat ke tempat lain, menebarkan pesona yang ampuh membuat para alien membayar berapa pun itu hanya untuk menyaksikan pertunjukan di depan mata.

Berbeda darinya, Till sendiri duduk di kursi yang ditaruh di tengah panggung berbentuk lingkaran tersebut. Meski sering bergerak ke sana kemari, Ivan tak pernah pergi sejauh diameter panggung. Till memainkan gitar untuk mengiringi lagunya. Gitar tersebut berwarna hitam, dipilihkan langsung oleh Ivan sendiri. Ketika mereka tampil, gitar itu selalu berada di pangkuan Till.

Beberapa alien terkadang melemparkan tatapan heran ke arah Till maupun ke arahnya sendiri. Tatapan seperti tengah menyaksikan sesuatu yang pelik. Ivan mengerti; pemenang series Alien Stage hanya satu orang. Ia pun sadar akan keberadaan suara-suara bising yang seakan ingin menghancurkan kedamaian momen itu.

Ia sudah biasa menutup kedua telinganya.

Semenjak kecil, ketika cercaan pemiliknya adalah makanan sehari-hari kala tak berhasil mencapai nada yang sempurna. Pemilik yang sama dengan yang kini sangat memanjakannya. Ivan sudah bertekad untuk tak pernah mendengarkan pendapat orang lain; toh, opini mereka selalu berubah dari waktu ke waktu. Tak ada yang dibutuhkannya selain merasakan genggaman tangan Till kembali, karena itulah hakikat utopia sejati miliknya sendiri.

Ivan tak akan membiarkan utopia tersebut direnggut untuk kedua kalinya.

Kala penampilannya berakhir, barulah final dari Alien Stage musim sekarang dimulai. Ivan menuruni panggung bersama Till di gendongan. Ia tak ingin melihat pertumpahan darah.

"Tumben," Till mengeratkan pegangannya di kerah baju Ivan, "kamu ngegendong aku di depan. Biasanya kan kamu selalu ngangkut aku kayak karung beras."

Mendengar perbandingan itu, Ivan tertawa dan mencubit pipi Till. "Sekali-kali. Lagian, bukannya begini lebih romantis? Aku bisa menciummu kapan saja."

"Dih, ternyata ada modus."

Meski berkata seperti itu, perilakunya berbanding terbalik 180 derajat. Ketika musik pengiring penampilan final mulai diputar, pelan-pelan, Till mendekatkan wajah keduanya. Kemudian, ciuman singkat diberikan di pipi Ivan. Sekejap dan hilang di satu kedipan mata, namun itu sudah cukup untuk membuat Ivan tersenyum seharian kala mengingatnya.

Sampai di belakang panggung, Ivan menurunkan Till di salah satu kursi dan duduk di sebelahnya. Ia memerhatikan alien-alien berlalu-lalang; penata panggung, perias kontestan, pengatur lighting pun ada. Di kursi sisi satunya lagi, seseorang duduk setelah mengutarakan "permisi..." yang tak terdengar jelas oleh Ivan.

Orang di sebelahnya terus bergerak-gerik gelisah. Ia meniti jari, menaik-turunkan ujung kaki sementara tumitnya tetap di tanah. Hingga, ia menyapa, "Um... halo?"

Ivan akhirnya menyadari keberadaan orang tersebut. Rambut berwarna biru, juga dua bola mata sedalam samudera. Ia tampak seperti pemalu yang ingin sekali mempunyai teman mengobrol. Till ikut menengok kepadanya, berucap, "Ah, pemenang musim lalu."

"A— aku pemenang Alien Stage musim lalu." Ia mengulurkan tangan. Beberapa saat, Ivan menginspeksi gestur tersebut, sebelum menerimanya dengan tangan sendiri. "Kamu Ivan, ya? Pemenang dua musim lalu."

Ivan mengangguk. "Kamu di sini juga sebagai bintang tamu?"

"Iya. Aku tampil sebelum kamu."

Jujur saja, Ivan tidak sadar.

"Makanya, jangan merhatiin aku mulu," cibir Till sembari melemparkan tawa kecil.

Ivan ikut tertawa, genggamannya pada tangan Till mengerat, sementara sang pemenang musim lalu menelengkan kepalanya gugup. "Ada yang lucu?"

"Ah, nggak papa. Kekasihku," Ivan membelai rambut Till, "hanya tertawa, jadi aku pun ikut tertawa."

Alis orang di hadapannya berkerut.

Ah, ekspresi itu. Ekspresi orang-orang yang mempertanyakan cintanya.

Suara bising itu mulai muncul kembali.

"...Till, ya? Aku menonton penampilan kalian malam itu. Duel—"

"Duet."

"—duet kalian berdua."

Apa yang bocah ini inginkan?

Lama-lama, suara bising itu semakin mengganggu. Seperti ada sesuatu yang ingin memaksa masuk dan menusuk paru-paru. Ivan merasa sesak tiap kali orang itu membuka mulut. Ingin rasanya ia membungkam mulut itu selamanya.

Genggaman Till membawanya kembali ke realita. Tarik napas, hembuskan... ya, tidak ada yang dia dapatkan bila orang di hadapannya mati. Ivan harus mengontrol emosi.

"Aku mengerti perasaanmu. Saat final, aku juga—"

"Ah, maaf ya~ Aku sama Till harus pergi dulu. Ayo, Till."

Ivan menggendong Till, lalu melangkah pergi. Tangan kanan Till masih menggenggam tangannya erat, sementara yang satu lagi melingkari leher Ivan. Mata hitamnya sempat beradu dengan biru tua milik orang itu, dan ia merasakannya; hati nurani yang mempertanyakan cinta mereka. Sebelum suara bising itu menghancurkannya, ia harus segera pergi.

"Ivan," Till berbisik, "aku tidak suka orang itu."

Ivan menghela napas, mencoba mengembangkan senyum, namun akhirnya gagal. "Aku juga, Till." Ia mengelus helaian rambut Till, sementara dirinya memandang pantulan sendiri di kedua manik hijau itu. "Jangan dekat-dekat sama dia, ya."

Till mengangguk lemah. Wajah ia tenggelamkan di dada bidang Ivan, mendengarkan detak jantung ritmis miliknya. Membiarkan Ivan membawanya ke mana pun itu: yang pasti, ia adalah tempat teraman untuknya.

Ia harus menang. Untuk menyingkirkan tangan-tangan yang mencoba mengambil Till darinya. Menyingkirkan pandangan yang seakan mempertanyakan cinta keduanya. Tatkala suara bising itu kembali, haruslah Ivan menangani.

Dengan cara apa pun itu, ia akan mengikrarkan akhir bahagia bagi dirinya.

***

Pepatah mengatakan, hal yang paling kau benci, hal itu justru datang kembali.

Ivan tak pernah begitu setuju dengan suatu pernyataan.

Di hotel tempat para pemenang series Alien Stage beserta pemiliknya berkumpul, saat itu tengah waktu makan siang. Sebelumnya, diadakan wawancara oleh majalah yang meliput pertandingan hidup dan mati itu secara eksklusif. Kontestan yang beruntung tahun ini ialah seorang perempuan. Memutus sebuah rantai; akhirnya pemenang yang memegang piala sekarang ialah bukan seorang lelaki.

Akan tetapi, Ivan tak peduli dengan semua itu. Yang penting Till selalu ada di sisinya. Baik saat interview, hingga perihal kamar mereka berbagi. Kasur pun Ivan pesankan agar hanya ada satu namun berukuran besar (Till sempat protes, tapi akhirnya malah memeluk Ivan saat tidur dan tak mau melepaskan ketika hendak bangun). Jadi tak heran bila di restoran pun mereka duduk bersebelahan.

Sayangnya, mereka seharusnya mengambil meja yang hanya memiliki dua kursi saja. Kalau begitu, situasinya tak akan menjadi gugup seperti ini.

Orang di hadapannya memakan pudingnya dalam diam. Rambut yang agak gimbal membuat wajahnya sulit untuk dilihat ketika menunduk seperti itu. Walau begitu, Ivan dapat merasakan tatapan penasaran dilemparkan ke sisi mejanya.

Till pun pasti merasakan hal yang sama. Ia melihat ke semua arah terkecuali ke depannya. Membuang pandang, lebih tepatnya.

"...Till tidak makan?"

Pertanyaan dari orang itu membuat Till melirik jenuh, meski akhirnya mengangkat bahu dan kembali menghitung dekorasi di langit-langit. Ivan secara tak langsung diberikan kewajiban untuk menjawabnya.

"Dia lagi nggak lapar, katanya."

"Terakhir makan kapan?"

Ivan pikir Till berbisik tajam, "Orang banyak nanya."

Dan Ivan seratus persen setuju. Karena itu, ia melempar balik jawaban setengah-setengah, "Kupikir itu bukan sesuatu yang pantas untuk ditanyakan, tapi baiklah. Tadi dia sarapan terlalu banyak, makanya sekarang tidak lapar."

"Oh," ucap orang itu, menyuapkan sesendok lagi puding ke mulutnya, "aku nggak lihat kalian tadi pagi di sini."

Salah satu sudut bibir Ivan terkembang, namun bukan karena senang. Karena suara bising itu datang lagi, kini menyerang telinga kanannya, membuat gendang telinganya nyeri.

Untuk beberapa saat, keduanya diam. Akan tetapi, sepertinya hal itu belum cukup untuk memuaskan rasa penasaran si pemuda di hadapannya.

Ia bergumam, "Yang lain sudah memberitahuku soal kondisi... Till."

DEG!

Mata Ivan langsung memelotot ke arahnya. Genggamannya pada Till semakin mengerat. Sekarang ia yakin; orang itu sama saja dengan yang lain. Ingin memisahkan ia dengan Till, ingin merobek kisah mereka.

Padahal, Ivan melirik ke kaki Till yang sekarang tak dapat menopang berat tubuhnya, seperti ini pun tidak apa-apa.

Ivan tak peduli bila harus menggendong Till ke mana-mana. Merawatnya pun ia tak masalah. Asalkan Till selalu berada di sisinya, hal itu sudah cukup bagi Ivan.

Lalu, kenapa orang-orang begitu ingin memisahkan mereka?

"Aku suka nyanyianmu, Ivan. Lagipula, kamu seniorku." Orang di hadapannya dengan berani beradu tatap melawan manik hitam yang bagai menyedotnya. Blackhole, ataukah Dark Sea? "Aku mengerti, sangat mengerti soal rasa sakit itu."

Mengerti? Mengerti apanya?

Kalau orang itu mengerti, harusnya ia tak menanyakan cinta mereka. Harusnya dia tak usah melemparkan tatapan penasaran, seakan jalinan kasih ini adalah sesuatu yang dilarang. Bukankah setiap manusia mewujudkan cinta mereka dalam bentuk yang berbeda?

"Aku juga... melawan orang yang paling kucintai. Babak final musim lalu. Padahal menurutku suaranya lebih bagus, toh, voice range-nya sangat lebar. Tapi sepertinya para alien tidak menyukai pribadi yang terlalu energetik." Ia tertawa pahit, rambut raven menyembunyikan air mata yang kian menumpuk di samudera birunya. "Aku menang, dengan konsekuensi kematiannya. Awalnya sangat sulit untuk menerima dia sudah tiada. Setiap pagi, aku mencari-cari dirinya yang selalu membangunkanku dengan teriakan 'Waktunya latihaaaan!'. Hingga kuingat, kompetisi itu sudah berakhir, juga berulang kali aku terpaksa mengingat, dia sudah...."

Suara bising itu semakin mengacaukan pikiran.

Ivan meringis, menutup telinga sebelum ia bisa tenggelam.

...

Ah, begitu.

Orang ini pasti iri. Dia tak dapat bersama dengan orang tercintanya kembali, sementara Ivan bisa tetap menjalin kisah dengan Till. Begitu, ya? Ya, pasti begitu. Kalaupun salah, setidaknya itu adalah kebenaran dalam diri Ivan.

"Kamu tidak mengerti," putus Ivan. Ia melingkarkan tangannya di bahu Till, menariknya untuk mendekat dan bersender padanya. "Perasaan setiap orang berbeda-beda, bukan? Kamu tidak akan bisa mengerti perasaan kami."

Setelah mengatakan hal itu, Ivan pikir sekarang adalah batas kesabarannya. Ia menggendong Till. Hatinya bak teremas rasanya ketika Till menggenggam erat kerahnya, tubuh bergetar. Pasti ia juga merasa takut dan sedih sebab cintanya dipertanyakan.

"Tapi," sahut orang itu, kala Ivan hampir saja berada di luar jangkauan pendengaran, "apa yang membuatmu berpikir bahwa kamu bisa mengerti perasaannya?"

Ivan enggan menjawab pertanyaan itu. Tidak perlu menjawab pertanyaan tidak penting itu.

Dirinya tak menoleh kembali, membawa Till pergi dari restoran. Menuju tempat di mana tak akan ada yang bisa menggangu; kamar mereka.

Kala ia telah membaringkan Till di kasur, Ivan tak membuang-buang waktu dan segera memeluknya. Keduanya berbaring, selimut dilupakan. Yang bisa menghangatkan Ivan saat ini hanyalah Till, tak peduli seberapa ironis hal itu senyatanya.

Ivan melontarkan banyak sekali ucapan: cinta, puisi, malam penuh bintang. Till tidak pernah memotongnya. Tidak perlu berkata-kata. Hanya perlu menggenggam tangannya dan tak pernah melepaskan.

Saat ini, hanya ada mereka berdua, dalam gemilang kedamaian berlatarkan para bintang.

Padahal seperti ini saja sudah cukup baginya....

***

Semuanya kacau.

Semuanya kacau!

Si Sialan itu mencuri Till.

Saat sesi pemotretan tadi, Ivan terpaksa meninggalkannya di ruang tunggu. Awalnya Ivan tak mau, sampai-sampai ingin menundanya, tapi omelan kecil Till sanggup untuk meyakinkan hatinya.

"Aku nggak bakal ke mana-mana, kok. Toh, aku nggak bisa ke mana-mana," katanya sembari mendengus kasar.

Memang benar Till tidak bisa ke mana-mana. Hal itu Ivan pastikan dengan mengamati kaki Till kala momen-momen tertentu. Namun ia melupakan kalau si Sialan yang selalu mempertanyakan cinta mereka masih ada di sekitar situ, dan tentunya akan berusaha menggapai Till dengan kedua tangan serakahnya.

Buktinya adalah ketika Ivan datang kembali ke ruang tunggu, Till sudah hilang. Tidak tampak sehelai pun rambutnya. Rasa panik langsung menguasai hati, dan ia menerobos beberapa staff yang mengawasi area. Pada hembusan-hembusan napas selanjutnya, paru-parunya terasa terbakar. Dunia menjadi kelam, bagaikan di malam itu, malam ketika hati tak menemukan jalan untuk bersatu.

"Till!"

"Ivan!"

Meski terpisah sejauh apa pun, ia bisa merasakan keberadaan separuh jiwanya itu. Mereka tak diizinkan pergi keluar, jadi Ivan yakin mereka masih berada di sekitar sana.

Dan lalu, dia melihatnya.

"Hey!"

Pemuda yang kini menggendong Till itu tersentak. Ia melirik ke arahnya dengan mata dipenuhi ketakutan. Jarinya berulang kali memencet tombol lift di depannya, bagaikan hal itu bisa membuat benda tersebut bekerja lebih cepat.

Meninggalkan lift yang terlalu lambat itu, ia memutar badan dan kabur. Kaki Ivan dipaksanya untuk tetap mengejar, meski tidak dapat dipungkiri, kecepatannya telah menurun.

"Till, pegang tanganku!"

"Sadarlah! Aku begitu mengidolakanmu, aku sangat memahami rasa sakit itu, tapi biarkan dia...."

Mulai lagi. Suara bising itu mengancam akan menyelimuti dunianya. Dunianya yang berputar mengelilingi satu bintang. Bintang yang kini hendak dilahap oleh lubang hitam.

"Ivan...."

Bintang itu membentangkan cahayanya.

Ivan berusaha menggapainya, dan ia berhasil, ia menangkap tangan Till yang terjulur di udara, kemudian yang selanjutnya terjadi adalah—

"—biarkan aku menguburnya, Ivan!"

Supernova.

***

Kematian Till adalah konsekuensi atas kemenangan Ivan.

Dengan skor yang berbeda jauh, Till tak memiliki kesempatan untuk menang saat gitarnya dirampas. Dari saat Ivan menginjakkan kaki di panggung yang sama dengannya, ia tahu bahwa yang tersisa di akhir cerita ini hanyalah kesendirian yang kelam. Meski begitu, ia tak dapat menahan hasrat untuk menggenggam Till, menggenggam dunia dalam telapak tangannya, pada saat skor mereka dihitung.

Dunianya runtuh tak berapa lama kemudian.

Walau Ivan telah memainkan skenario itu berulang kali di benaknya, nyatanya tetaplah menyakitkan. Sangat, sangat menyakitkan. Hingga air mata yang Ivan kira telah membeku, bersamaan dengan hilangnya bintang jatuh di suatu malam, pun kembali mengalir.

Hanya satu tetes, tapi pastinya memecahkan rekor lamanya ia tak menangis.

Tidak saat dirinya didorong anak yang tubuhnya lebih besar di Anakt Garden. Tidak saat lututnya dibersihkan oleh seseorang yang lebih muda darinya. Tidak saat anak yang bernama Till itu membuat suara bising tawa mereka pergi.

Ia kira, ia tak akan pernah lagi menangis. Bahkan saat genggaman tangannya dilepas, bahkan hingga suara menenangkan para meteor di latar berubah menjadi kekacauan, satu pun tetes tak mengalir.

Namun, saat ia menggendong tubuh tak bernyawa itu turun dari panggung, ia bisa merasakan kembali keberadaan suara bising yang selalu berusaha ia redam.

Kini, mereka lebih ganas.

"Ayo, Till," bisiknya lembut, menghiraukan suara bising yang ada, "menuju kebebasan kita."

Dan ketika ia mengecup dua kelopak mata yang tertutup itu, yang kemudian mengerjap dan memantulkan wajahnya sendiri dalam binar kehijauan, segeralah ia mengerti tujuannya.

Tujuan yang belum ternodai oleh kebohongan,

Ia harus menang. Bukan untuk melindungi orang terkasihnya, melainkan delusinya sendiri. Bahwasanya sang bintang jatuh belum menjadi meteor yang habis cahayanya. Bahwasanya ia masih bisa menjelajah alam semesta bersama bintang paling terang yang pernah ia temui.

Marilah bersinar kembali, Till.

Karena bahkan para bintang pun memiliki siklus hidup mereka masing-masing.

Untuk mewujudkannya, Ivan harus menyingkirkan siapa pun yang ada di final.

Menuju 'happy ending' milik kita sendiri.

***

Till membuka mata.

Apa yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit putih khas rumah sakit. Namun yang ia sadari pertama kali adalah bahwa ia tidak bisa bangun dari posisi tidurnya.

"Ah, Till! Untunglah...."

Lengan yang dibalut pakaian hitam membantunya duduk. Kedua tangan yang sama kemudian memeluknya. Langsung saja, aroma khas Ivan memenuhi penciuman Till.

"Ivan...."

"Tidak apa-apa. Aku di sini. Orang jahat itu sudah kubuat pergi."

Tersenyum hangat, Ivan menangkup wajahnya, membelai rambut abunya. Namun itu tak menghentikan Till untuk tak melirik ke arah tangan kanannya. Tangan yang ia ulurkan pada Ivan, tangan yang Ivan gapai.

Sekarang ada jahitan baru di sana, tapi ia tak berkomentar tentangnya.

Sama seperti jahitan-jahitan lain di tubuhnya. Satu jahitan besar di bagian belakang kepala, satu lagi melintang di perut, dan berbelas lainnya yang sudah mulai terlupakan. Till tahu persis alasan ia memilikinya.

Ivan tahu persis alasan adanya jahitan-jahitan itu di tubuh Till.

Tetapi, semuanya hanyalah sebuah kepraktisan belaka. Jalan yang mulus menuju akhir bahagia mereka. Till tidak pernah menanyakan soal hal itu karena Ivan tidak menginginkannya. Dan, semua isi hati Ivan, selalu bisa tersampaikan pada Till, begitupun sebaliknya.

Jadi apalah pendapat orang itu soal Ivan tak bisa memahami Till?

"...Ivan, berapa lama lagi kamu mau ngunyel-ngunyel pipiku?"

"Ehehe, maaf~ Habisnya kenyel banget~"

"Kalau gitu mainin pipimu sendiri. Kan pipi kamu lebih kenyel."

Ivan terkesiap. "Waaah! Kamu ceritanya muji aku, nih?"

"Dih, kegeeran."

Meski berkata seperti itu, senyum di pipi Till berbuah menjadi tawa. Ivan pun ikut tergelak kecil. Ia menaiki kasur dan memeluk kekasihnya, berjaga-jaga agar tak menindih bagian tubuhnya terlalu berat.

Till terasa begitu cocok berada dalam pelukannya. Rasanya seperti mereka dibuat dengan cetakan yang melengkapi satu sama lain. Pada momen itu, hanya ada mereka berdua, dalam dunia kecil penuh bintang yang selalu terang benderang.

Walaupun kaca di rumah sakit memantulkan satu manusia dan satu tubuh tak bernyawa, Ivan tak peduli.

Ia telah belajar untuk meredam suara bising itu. Suara-suara yang ingin memaksakan realita nan memuakkan padanya. Cercaan orang lain, bahkan dari para alien sekalipun, ia tak mendengarkannya. Apalagi sekadar hukum alam, Ivan tak mengenalnya.

Yang pasti, ini adalah 'happy ending'-nya.

Lagipula, bukankah cermin selalu memperlihatkan hal yang terbalik dari kenyataan?

— ꓷИƎ YᕋᕋAH —

Notes:

yes this is inspired by that one tweet that says "what if ivan preserve till's body"

ehehe kalo suka, atau mungkin kesel dan pengen neriakin aku gegara ending-nya gitu, bisa nih mutualan sama aku di twitter @nanarenchi

ayok mutualan guys aku butuh teman se-fandom alnst dari indo 😔🙏 (jika berkenan saja hehe hehe *awkward level 100*)